TRAGEDI BERDARAH SIMPANG KKA ACEH UTARA
Mencermati kondisi dan perkembangan sosial-politik
Indonesia saat ini, tentunya kekerasan dan pelanggaran HAM masih sangat
mendominasi sebagai suatu agenda nasional yang harus diselesaikan dengan
segera. Langkah yang diperlihatkan kebinet persatuan nasional (Gus Dur) dalam
menuntaskan persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM, ternyata masih belum
menyentuh subtansi yang sebenarnya. Hal ini mungkin disebabkan belum kuatnya
kemauan politik dari kabinet Gus Dur untuk secara sungguh-sungguh menyelesaikan
persoalan tersebut, sehingga resistensi masyarakat menuntut proses peradilan
baik para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM masih dan tetap akan mewarnai
perkembangan sosial-politik Indonesia .
Politik kekerasan khususnya
tindakan penghilangan secara paksa (penculikan) yang digunakan rezim otoriter
Soeharto sebagai upaya menjawab dinamika dan gejolak politik yang berkembang di
masyarakat (termasuk di daerah) selama berkuasa, sama sekali tidak dapat
dibenarkan. Sehingga proses penyelesaian melalui pertanggungjawaban negara baik
secara moral, politik maupun secara hukum tidak boleh diabaikan. Salah satu
contoh dari pelanggaran HAM itu sendiri adalah tragedy berdarah simpang KKA
Aceh Utara, contoh tersebut merupakan pelanggaran HAM yang sangat serius yang
pernah terjadi di Indonesia.
Sekedar merawat ingatan, Senin,
3 Mei 1999 atau sembilan tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar
simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja
yang pernah mendengar. Saat itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena
bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan
ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa
sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari
tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban
luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta
(TPF ) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40
orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat
kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat
negara.
Sementara data yang dikeluarkan
Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46 orang meninggal (dua orang
meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh), sebanyak 156
mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam insiden tersebut.
Sabtu kemarin, 3 Mei 2008,
berarti sudah sembilan tahun tragedi itu berlalu. Meskipun banyak pihak
melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban. Jamaluddin, misalnya, sampai
sekarang masih terkenang dengan tragedi paling kejam dalam hidupnya. Jamal,
kelahiran Sawang, Aceh Utara mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi,
dirinya melihat banyak sekali korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar
jeritan tangis dari para ibu dan bapak yang melihat warga tertembak.
Dengan melihat kenyataan ini,
membuktikan bahwa Pelanggaran Ham Di Indonesia semakin menjadi saja.
Prihatinnya berita pelanggaran HAM yang beredar di media sungguh amat sangat
menyedihkan. Apalagi pelanggaran tersebut dilakukan oleh kesatuan TNI, yang
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari
berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.
Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde
Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
Dalam tragedi aceh ini terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM
atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah, yaitu :
- UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b juncto Pasal 9 haruf a, menjabarkan beberapa unsur-unsur penting bahwa (1) Seorang atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana, yang mempunyai bawahan, mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian efektif; (2) Tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar; (3) Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; (4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (5) Kejahatan terthadap kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara pembunuhan.
- Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain.” Sehingga unsur perbuatan yang memenuhi rumusan delik dari pasal ini adalah perbuatan dengan sengaja, direncanakan terlebih dahulu, merampas nyawa orang lain.
- Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355 KUHP tentang penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir pada kematian. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban yang ditemukan terdapat bekas jeratan di leher seperti dijeran oleh plat besi, dan tindak penganiayaan lainnya. Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini adalah tindakan kekerasan, penyiksaan keji, pembunuhan dan perampasan kemerdekan terhadap korban.
Berbagai upaya maksimal telah
dilakukan oleh keluarga korban melalui pendampingan beberapa lembaga
masyarakat. Namun hingga saat ini upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang
riil. Persoalan ini adalah persoalan kita semua yang tentunya negara harus mempertanggungjawabkanya.
Sekali lagi, hal ini tentunya kembali pada political will pemerintah saat ini.
Ketegasan, kesungguhan dan komintmen pemerintah dalam menjalankan kewajiban
benar-benar sedang diuji, terutama dalam menyelesaikan seluruh persoalan yang
ada.
referensi :