Sabtu, 06 April 2019


ETIKA DALAM FUNGSI PERUSAHAAN











Disusun oleh:
Nama               : Elia Dwi Astuti
NPM               : 12216298
Kelas               : 3ea31
Jurusan            : Manajemen







Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
PTA 2018/2019

BAB I

PENDAHULUAN


1.1     LATAR BELAKANG


Etika bisnis sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha baru maupun pengusaha yang sudah lama terjun di dunia bisnis. Tujuan etika bisnis bagi pengusaha adalah untuk mendorong kesadaran moral dan memberikan batasan-batasan bagi para pengusaha atau pelaku bisnis untuk menjalankan good business dan tidak melakukan monkey business atau dirty business. Di mana, hal itu dapat merugikan banyak pihak yang terkait. 
Dengan etika bisnis, para pelaku bisnis memiliki aturan yang dapat mengarahkan mereka dalam mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang baik, sehingga dapat diikuti oleh semua orang yang memercayai bahwa bisnis tersebut memiliki etika yang baik. Memiliki etika bisnis juga dapat menghindari citra buruk seperti penipuan, serta cara kotor dan licik. Bisnis yang memiliki etika baik biasanya tidak akan pernah merugikan bisnis lain, tidak melanggar aturan hukum yang berlaku, tidak membuat suasana yang tidak kondusif pada saingan bisnisnya, dan memiliki izin usaha yang sah.










BAB II

TEORI


2.1      Pengertian Etika

Etika berasal dari kata Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

2.2      Pengertian Bisnis

Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.

2.3      Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

2.4      Definisi Etika Bisnis Menurut Beberapa Ahli :

– Velasquez (2005) mengatakan bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
– Bertens (2000) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business ethics. Dalam bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics (etika korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau”etika ekonomi” (jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen) atau organization ethics (etika organisasi).
– Yosephus (2010) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics (etika terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi, khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
– Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Journal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
– Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
– Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
– Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

2.5      Moral Manajemen

Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.

2.6      Immoral Manajemen

Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.

BAB III

ANALISIS


3.1Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis : PT. Metro Batavia (Batavia Air)


Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.

Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.

Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.

Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.

Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap.”

Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.

Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).

“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk memberi penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).

Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini ke bandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.

Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggung jawab.


3.2   Analisis :


Siapa yang melakukan:

Pihak PT METRO BATAVIA (Batavia Air)

Jenis Pelanggaran :

Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.

Bagaimana :

Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.

Dampak/ Akibat :

Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan, dan calon penumpang (Pembeli tiket) Batavia Air menjadi terlantar pada hari hari berikutnya.

Tindakan Pemerintah :

Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia.

3.3   Undang undang yang dilanggar :


Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan

1. Pasal 4, hak konsumen adalah :

Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”

2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :

Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”

3. Pasal 8

Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memper
dagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”

4. Pasal 19

Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal   transaksi”

3.4   Kesimpulan :


Pendapat saya pribadi ketika melihat pelanggaran berikut ini adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek Haji tersebut sudah Pihak Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk memenangkan Tender tersebut.

REFERENSI



ETIKA MANAJERIAL DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ETIKA MANAJERIAL


ETIKA MANAJERIAL DAN FAKTOR FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI ETIKA MANAJERIAL


Atik Mulyaningrum
Elia Dwi Astuti
Febriyani
Lia Oktavia
Revina

Kelompok 3
3EA31

UNIVERSITAS GUNADARMA
2019/2020



DAFTAR ISI


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 1

1.1   Pengertian Etika................................................................................................................... 1
1.2   Pandangan Tentang Etika.................................................................................................... 1
1.3   Pengaruh Etika/Norma Moral Atas Manajer........................................................................ 4
1.4   Tingkat Pertanyaan Etika Dalam Bisnis............................................................................... 5
1.5   Unsur-unsur Etika................................................................................................................ 6
1.6   Moralitas Umum dan Moralitas Kepedulian........................................................................ 7
1.7   Kepemimpinan Etika............................................................................................................ 9
1.8   Tantangan Relativisme....................................................................................................... 10
1.9   Etika Dalam Konteks Internasional................................................................................... 12
1.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etika........................................................................... 13
1.11 Pandangan Tentang Etika.................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 17

 
1.1 Pengertian Etika
Pengertian dari etika, sampai saat ini belum memiliki definisi yang jelas. Istilah etika mengacu pada peraturan atau prinsip yang mendefinisikan tindakan benar dan salah. Menurut kamus bahasa Indonesia, etika adalah suatu ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak ataupun moral. Pengertian etika lainnya dalam Webster’s New Colegiate Dictionary mendefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari atau membicarakan apa yang baik dan buruk, dan apa tugas dan kewajiban moral. Selain itu etika dapat diartikan pula sebagai sebuah studi bagaimana keputusan kita mempengaruhi orang lain.
Etika manajerial adalah standar prilaku yang memandu manajer dalam pekerjaan mereka. Ricky W. Griffin dalam bukunya yang berjudul Business mengklasifikasikan etika manajerial ke dalam tiga kategori:
  1. Perilaku terhadap karyawan
Kategori ini meliputi aspek perekrutan, pemecatan, kondisi upah dan kerja, serta privasi dan respek. Pedoman etis dan hukum mengemukakan bahwa keputusan perekrutan dan pemecatan harus didasarkan hanya pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Perilaku yang secara umum dianggap tidak etis dalam kategori ini misalnya mengurangi upah pekerja karena tahu pekerja itu tidak bisa mengeluh lantaran takut kehilangan pekerjaannya.
  1. Perilaku terhadap organisasi
Permasalahan etika juga terjadi dalam hubungan pekerja dengan organisasinya. masalah yang terjadi terutama menyangkut tentang kejujuran, konflik kepentingan, dan kerahasiaan. Masalah kejujuran yang sering terjadi di antaranya menggelembungkan anggaran atau mencuri barang milik perusahaan. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang individu melakukan tindakan untuk menguntungkan diri sendiri, namun merugikan atasannya. Misalnya, menerima suap. Sementara itu, masalah pelanggaran etika yang berhubungan dengan kerahasiaan di antaranya menjual atau membocorkan rahasia perusahaan kepada pihak lain.
  1. Perilaku terhadap agen ekonomi lainnya
Seorang manajer juga harus menjalankan etika ketika berhubungan dengan agen-agen ekonomi lain—seperti pelanggan, pesaing, pemegang saham, pemasok, distributor, dan serikat buruh.
Agar perusahaan tersebut baik di mata dunia maka seorang manajer harus memiliki etika yang baik. Para manajer yang memiliki etika yang baik akan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai manajer dengan penuh tanggung jawab. Etika dipergunakan dimana saja ia berada. Baik dalam mengambil keputusan, memimpin suatu rapat, berinteraksi kepada rekan kerjanya, dan terhadap para karyawannya.
1.2 Pandangan Tentang Etika
Empat sudut pandang mengenai etika bisnis, mencakup pandangan sebagai berikut :
  1. Pandangan etika utilitarian (ulititarian view of ethics)
Menyatakan bahwa keputusan-keputusan etika dibuat semata-mata berdasarkan hasil atau akibat keputusan itu. Teori utilitarian menggunakan metode kuantitatif untuk membuat keputusan-keputusan etis dengan melihat pada bagaimana cara memberikan manfaat terbesar bagi jumlah terbesar. Jika mengikuti pandangan utilitarian, seorang manajer dapat menyimpulkan bahwa memecat 20% angkatan kerja di perusahaan itu dapat dibenarkan karena tindakan itu akan meningkatkan laba pabrik tersebut, memperbaiki keamanan kerja bagi 80% karyawan sisanya, dan akan sangat menguntungkan para pemegang saham. Utilitarian mendorong efisiensi dan produktivitas dan konsisten dengan sasaran memaksimalkan laba. Namun di lain pihak, pandangan itu dapat menyebabkan melencengnya alokasi sumber daya, terutama apabila beberapa orang yang terkena dampak keputusan itu tidak memiliki perwakilan atau suara dalam keputusan tersebut. Utilitarianisme dapat juga menyebabkan hak-hak sejumlah pemercaya menjadi terabaikan.
  1. Pandangan etika hak (right view of ethics)
Sudut pandang etika lain adalah pandangan etika hak, yang peduli terhadap penghormatan dan perlindungan hak dan kebebasan pribadi individu, seperti hak terhadap kerahasiaan, kebebasan suara hati, kemerdekaan berbicara, dan proses semestinya. Penghormatan dan perlindungan itu mencakup, misalnya, melindungi hak para karyawan terhadap kebebasan berbicara ketika mereka melaporkan pelanggaran undang-undang oleh majikan mereka. Segi positif sudut pandang hak itu ialah bahwa sudut pandang tersebut melindungi kerahasiaan dan kebebasan individu. Tetapi sudut pandang tersebut memiliki sisi negatif bagi organisasi. Sudut pandang itu dapat menimbulkan berbagai hambatan terhadap produktivitas dan efisiensi yang tinggi dengan menciptakan iklim kerja yang lebih memperhatikan perlindungan hak individu daripada penyelesaian pekerjaan.
  1. Pandangan etika teori keadilan (theory of justice view of ethics)
Pandangan berikutnya adalah pandangan etika teori keadilan. Berdasarkan pendekatan ini, para manajer harus menerapkan dan memaksakan dan mendorong peraturan secara adil dan tidak memihak dan tindakan itu dilakukan dengan mengikuti seluruh peraturan dan perundang-undangan di bidang hukum. Manajer akan menggunakan sudut pandang teori keadilan dengan memutusakan untuk memberikan tingkat upah yang sama kepada individu-individu yang mempunyai tingkat keahlian, kinerja, atau tanggung jawab yang sama dan bukan didasarkan pada perbedaan yang sewenang-wenang seperti jenis kelamin, kepribadian, ras, atau favoritisme pribadi. Menerapkan standar keadilan juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pandangan itu melindungi kepentingan para pemercaya yang barang kali tidak mempunyai perwakilan yang memadai atau tidak mempunyai kekuasaan, tetapi pandangan tersebut dapat mendorong perasaan mempunyai hak resmi untuk memiliki atau menerima sesuatu (sense of entitlement) yang mungkin membuat para karyawan mengurangi pengambilan risiko, inovasi, dan produktivitas.
  1. Pandangan etika teori kontrak sosial terpadu (integrative social contracts theory)
Sudut pandang etika yang terakhir, pandangan etika teori kontrak sosial terpadu, mengusulkan bahwa keputusan etika harus didasarkan pada keberadaan norma-norma etika di industri dan masyarakat sehingga menentukan apakah undang-undang benar atau salah. Pandangan itu didasarkan pada penggabungan dua “kontrak”; kontrak sosial umum yang mengizinkan dunia bisnis menjalankan dan mendefinisikan peraturan dasar yang bisa diterima, dan kontrak yang lebih khusus di antara para anggota komunitas tertentu yang mencakup cara ber-perilaku yang dapat diterima. Misalnya, dalam menentukan berapa upah yang harus dibayar kepada para pekerja di sebuah pabrik baru di Ciudad Juarez, Meksiko, para manajer yang mengikuti teori kontrak sosial terpadu akan mendasarkan keputusan tersebut pada tingkatan upah yang telah ada di masyarakat. Walaupun teori ini berfokus pada melihat pada praktik yang telah ada, masalahnya adalah beberapa dari praktik ini mungkin tidaklah etis.
Dari keempat pendekatan tentang etika di atas, pendekatan etika manakah yang paling banyak diikuti dunia bisnis? Mungkin tidak mengejutkan lagi bahwa kebanyakan para pengusaha mengikuti pendekatan pandangan etika utilitarian. Karena pendekatan tersebut konsisten dengan sasaran bisnis seperti efisiensi, produktivitas, dan laba. Walau begitu, pandangan itu memerlukan perubahan karena perubahan dunia yang dihadapi para manajer. Kecenderungan ke arah hak-hak individu, keadilan sosial, dan standar masyarakat berarti bahwa para manajer memerlukan pedoman etika yang didasarkan pada kriteria non utilitarian. Itu merupakan tantangan yang mencolok bagi para manajer karena membuat keputusan berdasarkan kriteria seperti itu melibatkan jauh lebih banyak ketidakjelasan bila dibandingkan jika menggunakan kriteria utilitarian seperti efisien dan laba. Hasilnya, tentu saja, adalah bahwa para manajer semakin banyak mengalami pergulatan dengan berbagai dilema etis.
1.3 Pengaruh Etika/Norma Moral Atas Manajer
Putusan dan tindakan para manajer dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma buruk baik yang dianutnya. Norma etika manajer itu berpengaruh terhadap tindakan dan putusan organisasi, walaupun harus diakui keadaan tertentu yang sedang dihadapinya sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seorang manajer.
Pengkajian yang terakhir mengenai nilai-nilai dan norma-norma etika, yang dilakukan oleh Barry Posner dan Warren Schmidi menyimpulkan hal-hal berikut ini:
1. Tujuan utama para manajer adalah bagaimana membuat organsasi berhasil.
2. Maksimalisasi keuntungan dan kepentingan pemilik usaha bukan tujuan sentral manajer.
3. Melayani para pelanggan penting bagi manajer.
4. Integritas merupakan ciri yang dinilai penting oleh semua tingkat manajer.
5. Desakan kepatuhan pada norma organisasi dipandang juga cukup tinggi.
6. Bantuan istri dan suami cukup penting dalam mengatasi masalah etis.
7. Rekan sesama manajer merupakan penasihat yang berharga dalam mengatasi masalah-masalah etis.
Peneliti lainnya Robert J. Mockler mengutarakan lima faktor yang mempengaruhi keputusan yang menyangkut masalah etis, yaitu :
1. Undang-undang yang memberi batasan standar etis yang minim sesuatu soal tanpa menghiraukan adanya hal-hal yang tercakup oleh undang-undang yang masih merupakan daerah kelabu.
2. Peraturan-peraturan pemerintah yang menyederhanakan soal dengan me-nentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, maupun masih terlalu mudah untuk dilanggar.
3. Kode etik organisasi dan usaha yang juga nampak menyaderhanakan faktor-faktor mana yang secara etis hanya dipedomankan oleh para manajer. Namun sayangnya di banyak organisasi, standar etis ini sering tidak jelas secara tertulis sehingga sukar diikuti prosedur pelaksanaannya. Bahkan yang tertulis pun masih dituntut sikap jujur dan hati nurani manajer untuk mematuhinya.
4. Desakan sosial malah membuat ruwetnya masalah etik ini karena nilai dan norma satu kelompok masyarakat tidak sesuai dengan kelompok masyarakat lainnya.
5. Ketegangan antara norma pribadi dengan kebutuhan organisasi juga membuat rumitnya tugas manajer. Norma pribadi sebagai warga masyarakat sering bentrok dengan kepentingan organisasi.
Kalau seorang bawahan mengetahui perbuatan atasannya yang tidak etis, dia menghadapi kesulitan untuk berbuat. Kesulitan ini oleh James A. Walters disebut sebagai hambatan organisasi (organization blocks) yang terdiri dari tiga macam hambatan yaitu :
1. Rantai komando
Yaitu kepatuhan kepada atasan sulit bagi bawahan untuk melaporkan perbuatan atasannya yang tidak etis. Karena atasan dari atasannyapun mempunyai standar nilai dan norma yang sama. Dan melaporkan atasan kepada atasannya dianggap sebagai pelanggaran norma rantai komando.
2. Keanggotaan dan kesetiaan pada kelompok
Keanggotaan dan kesetiaan pada kelompok juga membuka kemungkinan tertutupnya hal-hal yang bersifat tidak etis. Tidaklah bijaksana bagi anggota kelompok untuk mengkhianati kelompoknya. Ini yang biasa disebut dengan kolusi.
3. Skala prioritas yang tidak tegas
Yaitu timbul kebingungan kalau sudah sampai kepada tingkat dibuatnya kebijakan justru untuk dilanggar. Karyawan etis akan bingung harus me-matuhi kebijakan yang mana. Dan timbullah perasaan serba salah.
Untuk mengatasi perbuatan-perbuatan yang tidak etis terdapat beberapa langkah yaitu :
1. Pimpinan organisasi menentukan kebijakan secara jelas dan pasti yang mendorong perbuatan etis anggotanya.
2. Manajemen bertanggung jawab atas semua bawahannya yang berbuat salah dan tidak etis dengan tindakan disiplin yang tegas.
3. Tersedianya saluran untuk menampung pengaduan, umpamanya dengan mendirikan lembaga pendidikan yang bebas tanpa membahayakan si pelopor.
4. Pendidikan, latihan, dan usaha-usaha sejenis lainnya untuk menanamkan kode etik, sehingga dapat dikembangkan para manajer yang berkesadaran dan bermental baik.
1.4 Tingkat Pertanyaan Etika Dalam Bisnis
Kita tidak dapat menghindari isu etika dalam bisnis seperti yang dapat kita hindari dalam masa-masa hidup kita yang lalu. Dalam bisnis, kebanyakan pertanyaan etika termasuk dalam salah satu atau beberapa dari empat kategori, yaitu sosial, pihak yang berkepentingan, kebijakan internal, atau pribadi.
1. Sosial
Pada tingkat sosial, kita mengajukan pertanyaan mengenai institusi dasar dalam masyarakat. Masalah apartheid di Afrika Selatan adalah salah satu pertanyaan tingkat sosial. Apakah benar secara etika mempunyai sistem sosial yang sekelompok orang―sebenarnya mayoritas―secara sistematik tidak diperbolehkan mempunyai hak-hak asasi? Walaupun perubahan akhir-akhir ini di Afrika Selatan telah mengakhiri sistem apharteid, masih sulit membahayakan seberapa mulus pelaksanaan transisi untuk persamaan hak. Perusahaan yang ingin melakukan bisnis disana masih menghadapi sejumlah masalah kompleks seperti politik, ekonomi, dan perubahan dinamika sosial; situasi yang masih dapat menimbulkan masalah etika yang sulit bagi banyak perusahaan.
Pertanyaan tingkat sosial biasanya mewakili debat yang masih berlangsung di antara institusi yang bersaing. Sebagai manajer dan individu, kita masing-masing dapat mencoba untuk membentuk debat tadi. Andrew Carnegie (bersama dengan para ahli perintis teori yang lain mengenai tanggung jawab sosial perusahaan) bekeja pada tingkat ini ketika dia berargumentasi bahwa peran yang memadai dari sebuah bisnis seperti U.S Steelmiliknya sendiri adalah menerapkan prinsip amal untuk membantu kaum miskin dan yang kurang beruntung.
2. Pihak yang berkepentingan
Jenis pertanyaan etika kedua menyangkut pihak yang berkepenting-an―pemasok, pelanggan, pemegang saham, dan yang lain. Di sini kita mengajukan pertanyaan mengenai cara sebuah perusahaan seharusnya menangani kelompok eksternal yang terpengaruh oleh keputusannya, di samping bagaimana pihak yang berkepentingan seharusnya berhubungan dengan perusahaan.
Banyak isu mengenai pihak yang berkepentingan. Perdagangan oleh orang dalam (inside trading) adalah salah satunya; yang lain adalah kewajiban perusahaan untuk menginformasikan kepada semua pelanggan mengenai bahaya potensial dari produknya. Kewajiban apa yang dimiliki oleh perusahaan terhadap pemasoknya? Terhadap masyarakat tempat perusahaan beroperasi? Terhadap pemegang saham? Bagaimana seharusnya kita berusaha memutusakan masalah-masalah seperti itu? Manajer Kinko’s dalam menghadapi pertanyaan etika apa pun akan menghormati pemegang hak cipta sebagai pihak yang berkepentingan.
3. Kebijakan internal
Kategori ketiga dari etika mungkin disebut “kebijakan internal”. Di sini kita mengajukan mengenai sifat hubuingan perusahaan dengan para karyawannya. Kontrak perjanjian kerja seperti apa yang adil? Apa yang menjadi kewajiban bersama dari manajer dan pekerja? Apa hak yang dimiliki oleh karyawan? Pertanyaan-pertanyaan ini juga mengisi hari-hari kerja seorang manajer? Dirumahkan, tunjangan, peraturan kerja, motivasi, dan kepemimpinan merupakan etika di sini.
4. Pribadi
Di sini kita mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana orang seharusnya saling memperakukan di dalam sebuah organisasi. Apakah kita harus saling bersikap jujur, apa pun konsekuensinya? Apa kewajiban yang kita punyai―baik sebagai manusia maupun sebagai pekerja yang mengisi peran kerja spesifik―terhadap atasan kita, karyawan kita, dan rekan sekerja kita? Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut isu sehari-hari kehidupan organisasi apa pun. Di belakang mereka terdapat dua isu yang lebih besar. Apakah kita berhak untuk melihat orang lain terutama sebagai tujuan akhir kita? Apakah kita dapat menghindari hal itu?
Salah satu contoh dalam memenuhi kewajiban etika adalah Kidd & Co. Ketika kebakaran merusak Kidd & Co, sebuah pabrik marshmallow (semacam kembang gula) di Nevada miliki sebuah keluarga, wakil presidennya, John Kidd, dan kakak laki-lakinya Charlie memutuskan untuk membayar 63 orang karyawan mereka, sementara mereka membangun pabrik kembali, menghormati kewajiban terhadap karyawan dan pihak yang berkepentingan lain. Sebagai imbalannya, para karyawan melakukan kerja sosial bagi masyarakat.
1.5 Unsur-unsur Etika
Sadar atau tidak sadar, kita terlibat dalam pemikiran etika setiap hari dalam kehidupan kita. Untuk meningkatkan pemahaman etika, kita harus menganalisis secara eksplisit dan mempraktekkan setiap hari. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sebagai berikut :

1. Nilai
Yaitu keinginan yang relatif permanen yang tampaknya memang baik, seperti damai atau kehendak baik. Nilai-nilai merupakan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya, Anda membaca buku ini? Anda mungkin menjawab bahwa Anda ingin belajar mengenai manajemen. Mengapa hal itu penting? Agar menjadi manajer yang lebih baik. Mengapa Anda menginginkan hal itu? Agar dapat dipromosikan dan segera mendapat gaji yang besar. Mengapa Anda memerlukan lebih banyak uang? Pertanyaan seperti itu dapat diteruskan, sampai Anda mencapai suatu titik sampai Anda tidak menginginkan sesuatu untuk sesuatu yang lain. Pada saat itu, Anda telah sampai pada nilai-nilai. Perusahaan juga mempunyai nilai-nilai, seperti ukuran, kemampuan menghasilkan laba, atau membuat produk bermutu tinggi.
2. Hak dan Kewajiban
Hak adalah tuntutan yang memberikan “ruang” kepada seseorang untuk melakukan tindakan. Dalam istilah yang lebih formal, seseorang dapat menamakan ruang ini sebagai “bidang otonomi” atau, lebih sederhana, kebebasannya. Hak jarang bersifat absolut; kebanyakan orang akan setuju bahwa cakupan hak individual dibatasi oleh hak orang lain. Biasanya, Anda mempunyai hak untuk mengutarakan pikiran Anda dengan bebas―sampai Anda membuat pernyataan yang memfitnah orang lain.
Lebih lanjut, hak berhubungan dengan kewajiban. Kalau seseorang mempunyai hak, orang lain mempunyai kewajiban untuk menghormatinya. Kewajiban adalah keharusan untuk mengambil langkah-langkah tertentu ―membayar pajak, misalnya, dan mematuhi undang-undang untuk menghormati orang lain.
3. Peraturan Moral
Peraturan moral membimbing kita melewati situasi dimana terjadinya benturan kepentingan yang bertentangan. Anda mungkin memikirkan peraturan moral sebagai “perlombaan untuk mencari pemenang dari peserta dengan nilai yang sama dalam perlombaan sebelumnya”―pedoman yang dapat menyelesaikan perselisihan. Peraturan moral, yang mengatur tingkah laku, sering kali diserap menjadi nilai-nilai.
4. Hubungan Manusia
Setiap manusia berhubungan dengan manusia lain dalam jaringan hubungan. Oleh sebab itu manusia disebut dengan makhluk sosial. Hubungan ini ada karena kita saling membutuhkan untuk saling mendukung dan mencapi sasaran kita bersama. Dari hubungan anak kecil dengan orang tuanya sampai hubungan manajer dengan seorang karyawan, hubungan dipandang sebuah aspek kehidupan moral. Kita secara konstan memutusakan bagaimana mempertahankan dan memeliharanya. Keputusan ini mencerminkan nilai-nilai kita dan perhatian kita pada etika.
1.6 Moralitas Umum dan Moralitas Kepedulian
Moralitas umum adalah peraturan moral utama yang mengatur masalah etika sehari-hari. Ada peraturan yang kita jalani seumur hidup kita, dan yang kita pakai untuk memahami masalah manajerial dalam arti etika. Di bawah ini secara singkat beberapa prinsip dasar moralitas umum untuk mengetahui bagaimana kerjanya.
1. Manepati janji
Kebanyakan orang ingin mempunyai kepastian bahwa orang lain akan melakukan apa yang mereka katakan. Tanpa perjanjian sederhana untuk menepati janji, interaksi sosial akan berhenti; bisnis tidak mungkin dilakukan. Jadi setiap teori moral meyakinkan, paling sedikit, bahwa manusia kebanyakan harus menepati sebagian besar janji mereka. Perdagangan oleh orang dalam sebagian menjadi semacam skandal karena mereka yang tertangkap telah berjanji untuk tidak terlibat dalam aktivitas semacam itu.
2. Tidak suka dengki
Antara lain, hak dan kewajiban mempunyai berbagai cara untuk mencegah konflik yang keras. Bila kita secara konstan harus mengkhawatirkan keselamatan dasar fisik kita, kita mungkin akan berkurang berminat untuk mempercayai orang lain dan terlibat dalam perjanjian kompleks yang mungkin menimbulkan perselisihan dengan mereka. Oleh karena itu, kebanyakan teori moral memberikan syarat bahwa kebanyakan orang, biasanya, menahan diri dari menyakiti orang lain.
Tentu saja ada perkecualian. Kita mengizinkan polisi menggunakan ke-kuasaan untuk menahan kriminal; kita menerima perang yang kita anggap hanya sebagai perang; dan kita mengizinkan orang lain untuk mempertahankan diri kalau mereka diserang tanpa sebab. Tetapi moralitas mengharuskan kita menghindari dari kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan.
3. Saling membantu
Umat manusia dapat tetap lestari dengan mengakui bahwa orang saling tergantung dan saling membantu. Donor darah dan United Way merupakan contoh-contoh yang baik. Menurut prinsip saling membantu, individu harus saling membantu jika melakukan hal itu memerlukan biaya besar.
4. Menghargai orang
Moralitas umum juga mengharuskan kita menganggap orang lain sebagai pribadi dengan cita-cita sendiri, bukan sebagai cara untuk mencapai cita-cita kita. Memperlakukan orang sebagai pribadi termasuk menanggapi mereka dengan serius, menerima kepentingan mereka sebagai sesuatu yang sah, dan menganggap penting kehendak mereka.
5. Menghargai milik
Milik memainkan peran menonjol dalam kapitalisme. Ide yang mendasari milik adalah prinsip bahwa kebanyakan orang, pada umumnya, harus mendapat persetujuan orang lain sebelum menggunakan milik mereka. Bila Anda memikirkan orang lain memiliki badan mereka sendiri, menghargai milik merupakan konsekuensi dari menghargai individu. Di Kinko’s, isunya adalah menghargai pemegang hak cipta dan hak cipta tersebut sebagai milik.
Ahli teori baru-baru ini seperti Carol Gilligan dan Nell Noddings telah ber-argumentasi bahwa moralitas umum―moralitas peraturan dan keadilan―adalah hanya salah satu perspektif untuk penalaran moralitas. Mereka mengusulkan bahwa ada dua untai teori moral, yaitu perspektif untuk penalaran moralitas. Mereka mengusulkan modus alternatif dari penalaran yang disebut “etika kepedulian”. Gilligan mengusulkan bahwa ada dua untai teori moral, yaiutu perspektif keadilan dan perspektif kepedulian―dengan perspektif keadilan lebih umum dijumpai di antara kaum pria dan perspektif kepedulian lebih umum di antara kaum wanita.
KEADILAN
KEPEDULIAN
Orientasi
Modus Pemikiran
Ide mengenai moralitas
Penyelesaian konflik
Tanggung jawab
Citra kekerasan
Metafora hubungan
Pemisahan; otonomi
Formal; abstrak
Keadilan; hak; persamaan
Yang penting individu
“Logika formal dari keadilan”
Pemisahan ditentukan oleh etika hak
Menyeimbangkan hak; bertentangan dengan keputusan hakim
Membatasi agresi dan melindungi hak
Kedekatan
Hierarki atau keseimbangan
Persatuan; saling ketergantungan
Kontekstual; naratif
Kepedulian; tanggung jawab
Yang penting hubungan “Logika psikologi dari hubungan”
Persatuan dikehendaki oleh etika peduli
Komunikasi; melindungi hubungan
Perluasan kepedulian dan memelihara hubungan
Isolasi
Jaringan kerja











Tabel 1. Kunci Perbedaan dalam Perspektif Keadilan dan Kepedulian.
Orang yang bekerja dengan perspektif keadilan menekankan pemisahan dari orang lain dan kehidupan otonomi. Mereka melihat penyelesaian masalah moral adalah menyeimbangkan hak yang saling bertentangan dengan cara moral dan abstrak. Sebaliknya, perspektif kepedulian mempunyai ciri adanya rasa yang berkaitan dengan orang lain, kehidupan yang saling menyayangi dan peduli, dan pandangan bahwa masalah moral muncul dari tanggung jawab yang saling bertentangan, yang sering kali memerlukan interpretasi halus tentang hubungan.
Orang yang mempunyai perspektif keadilan takut terlibat dalam berhubungan dengan orang lain. Mereka ingin melindungi hak yang memperhatikan pemisahan. Mereka yang bekerja dalam perspektif kepedulian, sebaliknya takut bahwa moralitas yang didasarkan pada hak dan tanpa campur tangan akan memberikan sanksi acuh tak acuh dan ketidak pedulian. Orang yang mempunyai perspektif keadilan melontarkan kritik perspektif kepedulian sebagai tidak meyakinkan, ragu-ragu, dan tidak konsisten karena penekanan pada situasi. Mereka yang mempunyai perspektif kepedulian menganggap orientasi keadilan tidak berperasaan, tidak mempunyai emosi, dan takut pada komitmen.
Perlu disadari bahwa kedua perspektif tersebut dipergunakan semuanya. Mungkin akhirnya teori yang lebih lengkap akan memadukan kedua pandangan tadi. Sekarang, kita harus berjuang untuk memahami orang dengan perspektif yang berbeda dari perspektif kita sendiri dan mencoba untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.
1.7 Kepemimpinan Etika
Manajer harus memberikan kepemimpinan yang etis. Seperti yang ditetapkan oleh manajer mempunyai pengaruh yang kuat pada keputusan karyawan untuk berperilaku etis atau tidak. Ketika manajer berbuat curang, berbohong, mencuri, memanipulasi, mengambil keuntungan dari situasi atau orang, atau memperlakukan orang lain dengan tidak adil, pertanda apakah yang mereka kirimkan pada karyawan (atau pemegang kuasa yang lain)? Mungkin bukanlah sesuatu yang mereka ingin berikan. Apakah yang dapat dilakukan manajer untuk memberikan kepemimpinan yang etis?
Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh manajer adalah menjadi contoh yang baik. Berlaku etislah dan jujurlah. Sayangnya, dalam sebuah polling nasional, hanya 54 persen dari karyawan yang berkata mereka percaya kebanyakan eksekutif perusahaannya adalah jujur dan etis. walau begitu, karyawan sangat membutuhkan kejujuran lebih dari dari segala mutu kepemimpinan yang lain. Sebuah daftar yang terdiri dari 28 atribut, sebuah survei karyawan berkata kejujuran sejauh ini adalah yang paling penting, diikuti oleh integritas/moral/etika. Apakah yang dimaksud menjadi jujur? Ini berarti mengatakan yang sebenarnya. Ini berarti tidak menyembunyikan atau memanipulasi informasi. Bahkan berita buruk lebih dapat ditoleransi ketika orang tahu mereka sedang mengatakan hal yang sebenarnya.
Karena kejujuran ditempat kerja tidak dapat diatur atau diundang-undangkan, ini harus didorong oleh para pemimpin yang jujur dan berkemauan untuk mengakui kesalahan mereka. Hal lain yang harus dilakukan para pemimpin yang etis meliputi berbagai nilai-nilai mereka yaitu, secara berkala berkomunikasi pada karyawan tentang apa yang mereka yakini tentang etika dan nilai; menekankan nilai bersama yang penting melalui perwujudan budaya organisasi yang nyata seperti simbol, kisah, perayaan, dan slogan; dan menggunakan sistem penghargaan untuk menjaga setiap orang bertanggungjawab terhadap nilai-nilai, yang berarti memberi perhatian mana perilaku karyawan dihargai dan mana yang di hukum.
1.8 Tantangan Relativisme
Pada akhirnya, kita semua harus berhadapan dengan tantangan relativisme pada etika pada umumnya. Banyak versi relativisme moral, tetapi semuanya mengatakan bahwa kita tidak dapat memutuskan sesuatu benar dan salah, baik dan buruk, dengan cara yang rasional.
Relativisme moral tampaknya berarti bahwa benar dan salah bersifat relatif pada siapa pun yang membuat keputusan, hanya ada jawaban individual pada pertanyaan moral apa pun. Relativisme juga mengatakan bahwa argumen moral konstruktif tidak mungkin, karena setiap orang akan melakukan hal yang benar untuk dirinya sendiri. Walaupun kita mungkin menderita terhadap masalah moral, kita tidak mempunyai cara yang pasti untuk memutuskan bahwa sebuah keputusan secara moral lebih baik dari yang lain.
A. Relativisme Naif
Relativisme yang tersebar paling luas mungkin disebut relativisme naif―ide bahwa semua manusia merupakan standar untuk menilai tindakan mereka sendiri. Penganut relativisme naif percaya bahwa karena keputusan etika bersifat pribadi, penting, dan kompleks, hanya opini pengambil keputusan yang relevan.
Akan tetapi, hal itu tidak sesuai dengan sifat pribadi dan serius mengenai moralitas bahwa kita tidak dapat mempertanyakan alasan mengenai hal itu―amat berawanan. Tepatnya karena moralitas demikian penting bagi hidup kita, kita harus memikirkan yang terbaik dalam bidang ini, dan untuk hal itu kita memerlukan bantuan orang lain yang terlibat dalam proses pemikiran moral. Bila kita menolak ide bahwa keyakinan moral seseorang harus dipertahankan terhadap penelitian yang cermat dan kritik.
Toleransi orang lain adalah penting dan baik, tetapi relativisme naif menerima toleransi terlalu jauh. Orang sering kali tidak setuju mengenai pertanyaan moral, tetapi kita seharusnya tidak menyimpulkan bahwa tidak akan pernah ada alasan apa pun untuk segala yang kita lakukan, atau bahwa suatu tindakan selalu sama baiknya dengan yang lain. Sebaliknya, kita harus mencoba memilah-milah, karena bila tidak, kita telah mengaku kalah kalau berbicara mengenai hidup kita sendiri. Di samping itu, toleransi pengikut relativisme naif untuk semua sudut pandang merupakan kontradiksi dalam arti pandangan itu sendiri merupakan suatu sudut pandang absolut: “Kita harus selalu bersikap toleran”.
Bahkan ada argumen yang lebih memaksa melawan relativisme naif. Dalam memaksakan bahwa pengujian moral dari tindakan apapun adalah apakah seseorang percaya tindakan itu tepat, relativisme naif memberi tahu kita bahwa kita tidak perlu memeriksa isi dari tindakan tertentu; kita hanya perlu mencari apakah orang yang bertindak itu sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, penilaian apaun yang diambil mengenai suatu tindakan menyangkut isu seperti aborsi, pembunuhan bayi, kebebasan sipil, dan hukuman mati perlu ditangguhkan. Kegagalan yang nyata dari relativisme naif adalah kemalasannya: Itu bukan keyakinan, tetapi lebih merupakan alasan karena tidak mempunyai keyakinan. Sulit untuk mengatur fakta dan menyusun teori mengenai banyak pertanyaan etika, dan penganut relativisme naif tidak ingin diganggu. Kemalasan moral seperti itu menuntut biaya. Moral itu mengharuskan untuk melupakan harapan apa pun untuk hidup dalm dunia yang lebih baik atau menjadi manusia yang lebih baik.
B. Relativisme Budaya
Bentuk kedua dari relativisme moral, relativisme budaya, menyatakan bahwa moralitas bersifat relatif terhadap budaya, masyarakat, atau komunitas tertentu. Bentuk ini lebih lanjut meyakinkan bahwa tidak ada standar yang dapat membantu kita menilai moralitas dari budaya tertentu, dan bahwa harapan paling baik yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah untuk memahami kode moral dan kebiasaan dari suatu masyarakat.
Relativisme budaya memberi tahu kita untuk mencoba memahami, misalnya, moralitas orang Kenya atau moralitas orang Timur Tengah, tetapi bukan untuk menilai mereka. Bila norma dan kebiasaan dimiliki bersama oleh anggota dari masyarakat apa pun, hak apa yang kita miliki untuk melontarkan kritik kepada mereka dari sudut pandang eksternal? Mengapa bagian lain dunia harus menerima ide kita mengenai moralitas?
Kalau perusahaan terperangkap di antara moral dan permintaan legal yang bertentangan dari beberapa budaya, satu-satunya nasihat yang dapat diberikan oleh penganut relativisme budaya adalah sebagai berikut. Kerjakan apa yang Anda suka, karena Anda akan melanggar peraturan sah apa pun yang Anda kerjakan. Jadi, bukannya membantu Dresser keluar dari situasi yang sulit, relativisme budaya hanya akan menegaskan realisasi bahwa perusahaan tidak mungkin terlepas dari dilema.
Masalah kedua dengan relativisme budaya adalah bahwa sebagian besar besar budaya cukup berbeda. Oleh karena itu apa yang mungkin tampak norma berlaku mungkin mencerminkan nilai-nilai dari semua populasi, atau bahkan mayoritas. Relativisme menawarkan sebuah kontribusi untuk berdebat mengenai etika dalam bisnis. Relativisme mengingatkan kita pada keadaan saling mempengaruhi antara individu dan masyarakat—persyaratan dasar untuk pemikiran etika.
Tantangan dari relativisme menggambarkan dalam dan kompleksnya etika. Ada godaan untuk mengambil jalan keluar yang mudah yang disediakan oleh relativisme. Setelah kita membuat keputusan bahwa manajemen mempunyai komponen etika yang besar, tidak ada jalan keluar dari percakapan kompleks yang etis. dengan mengemukakan secara eksplisit mengenai bagaimana hubungan etika dan manajemen, manajer dapat memperbaiki kemampuannya untuk menarik kesimpulan mengenai etika.
1.9 Etika Dalam Konteks Internasional
Perbedaan sosial dan budaya antarnegara merupakan faktor-faktor lingkungn penting yang mentukan perilaku etis dan tidak etis. misalnya, manajer sebuah perusahaan Meksiko menyuap bebrapa pejabat tinggi pemerintah di Mexico City untuk mendapatkan kontrak pemerintah yang menguntungkan. Praktik semacam itu akan dianggap tidak etis, bahkan melawan hukum, di Amerika Serikat. Tetapi langkah itu merupakan praktik bisnis biasa di Meksiko.
Dalam kasus membayar dalam rangka mempengaruhi para politikus atau pejabat asing, ada undang-undang yang dapat membimbing para manajer Amerika Serikat. The Foreign Corrupt Practies Act, menganggap tidak legal jika perusahaan Amerika Serikat secara sengaja menyogok pejabat asing. Bahkan peraturan itu pun tidak senantiasa membuat berbagai dilema etis itu menjadi hitam putih. Di sejumlah negara Amerika Latin, misalnya, para birokrat pemerintah mendapat gaji yang amat rendah karena adat-istiadat mendiktekan bahwa mereka hanya loyal menerima sedikit uang dari orang-orang yang mereka layani. Pembayaran-pembayaran itu “melicinkan mesin” pemerintahan dan menjamin bahwa segala sesuatunya dilaksanakan. The Foreign Corrupt Practies Act tidak dengan tegas melarang uang sogok kecil-kecilan kepada pegawai pemerintah asing yang tugasnya terutama bersifat melayani atau tulis-menulis jika di negara tertentu uang sogok semacam itu merupakan bagian praktik bisnis yang diterima.
Sangat sulit bagi para manajer perorangan yang bekerja dalam kebudayaan asing untuk menyadari berbagai pengaruh sosial, budaya, serta politik dan hukum terhadap apa yang dianggap perilaku yang wajar dan dapat diterima. Dan organisasi global harus pula memperjelas garis pedoman etika organisasi tersebut agar para karyawan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka sewaktu bekerja di lokasi tertentu di luar negeri. Itu menambah dimensi lain ke dalam pembuatan keputusan etis.
Pada Forum ekonomi Dunia di bulan Januari 1999, Sekjen PBB menantang para pemimpin di dunia untuk “menerapkan dan melaksanakan” Kesepakatan Global, dokumen yang merangkum sembilan prinsip untuk melakukan bisnis secara global dalam bidang hak asasi manusia, tenaga kerja, dan lingkungan. Kesembilan prinsip itu dicantumkan dalam Gambar 2. dunia bisnis global diminta untuk me-masukkan pedoman itu ke dalam kegiatan bisnis mereka. Perusahaan yang ber-komitmen seperti itu melakukan itu karena mereka yakin bahwa masyarakat bisnis dunia memainkan peran penting dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial.
Hak Asasi Manusia
Prinsip 1 : Mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia di dalam jangkauan pengaruh mereka.
Prinsip 2 : Memastikan perusahaan bisnis tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia
Standar Buruh
Prinsip 3 : Kebebasan asosiasi dan pengakuan yang efektif atas hak tawar-menawar secara kolektif
Prinsip 4 : Pengahpusan semua bentuk buruh yang dipaksa atau diwajibkan
Prinsip 5 : Abolisi yang efektif tentang buruh anak-anak
Prinsip 6 : Panghapusan diskriminasi berdasarkan peluang kerja dan pekerjaan
Lingkungan
Prinsip 7 : Mendukung pendekatan awal terhadap tantangan lingkungan
Prinsip 8 : Mengambil inisiatif untuk memajukan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar
Prinsip 9 : mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi yang ramah lingkungan

Gambar 1. Kesepakatan Gobal.
1.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etika
Apakah seseorang bertindak secara etis atau tidak etis ketika berhadapan dengan dilema etika yang merupakan hasil interaksi yang rumit antara tingkat perkembangan moral dan beberapa variabel yang mencakup karakteristik individu, desain struktural organisasi itu, budaya organisasi itu, dan intensitas masalah etis tersebut. Orang yang tidak mempunyai rasa moral yang kuat akan sangat kurang cenderung melakukan hal-hal yang keliru jika mereka menghadapi kendala peraturan, kebijakan, deskripsi jabatan, atau norma budaya kuat yang tidak menyetujui perilaku semacam itu. Sebaliknya, orang-orang yang sangat bermoral dapat menjadi jahat karena struktur dan budaya organisasi yang mengizinkan atau mendorong praktik-praktik yang tidak etis. Di bawah ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah individu berperilaku etis atau tidak etis.
A. Tahap-tahap perkembangan moral
Tingkatan Deskripsi Tahap
Prinsip 6. Mengikuti prinsip-prinsipetis yang dipilih sendiri walaupun prinsip-prinsip itu melanggar hukum.
5. Menghargai hak-hak orang lain dan mempertahankan nilai-nilai dan hak-hak mutlak tanpa mempedulikan pendapat mayoritas.
Konvensional 4. Mempertahankan tatanan konvensional dengan memenuhi berbagai kewajiban yang telah Anda sepakati.
3. Menghayati apa yang diharapkan oleh orang-orang yang dekat dengan Anda
Pra-Konvensional 2. Menaati peraturan hanya ketika berbuat seperti itu merupakan ke-pentingan Anda langsung
1. Menaati peraturan untuk meghindari hukuman fisik.

Tingkatan pertama disebut pra-konvensional. Pada tingkatan itu, pilihan orang atas benar atau salah didasarkan pada akibat-akibat pribadi yang terkait, seperti hukuman badan, imbalan, atau pertukaran keuntungan. Penalaran etis pada tingkatan konvensional menunjukkan bahwa nilai-nilai moral terletak dalam mempertahankan tatanan konvensional dan memenuhi harapan orang lain. Pada tingkatan prinsip, individu melakukan upaya yang jelas untuk mendefinisikan prinsip-prinsip moral terlepas dari wewenang kelompok yang menaungi mereka atau masyarakat pada umumnya.
Dapat ditarik kesimpulan dari riset mengenai tingkatan dari tahap perkembangan moral. Pertama, orang melangkah melalui keenam tahap itu secara berurutan. Mereka perlahan-lahan menaiki tangga moral, tahap demi tahap. Kedua, tidak ada jaminan keberlangsungan perkembangan moral. Perkembangan moral seseorang dapat berhenti pada tahap mana pun. Ketiga, mayoritas orang dewasa berada pada tahap 4. Mereka terbatas pada memenuhi peraturan dan akan terdorong berperilaku secara etis. misalnya, seorang manajer pada tahap 3 cenderung membuat keputusan yang akan mendapatkan persetujuan rekan sejawat; seorang manajer pada Tahap 4 akan berusaha menjadi”warga perusahaan yang baik” dengan membuat keputusan yang menghormati prosedur dan peraturan organisasi itu; dan seorang manajer pada tahap 5 lebih cenderung menantang praktik-praktik organisasi yang dianggapnya keliru.

B. Karakteristik individu
Setiap orang memasuki suatu organisasi dengan serangkaian nilai yang relatif telah tertanam. Nilai kita―yang dikembangkan pada tahun-tahun awal kelahiran kita dari orang tua, para guru, teman, dan orang lain―menggambarkan keyakinan dasar tentang apa yang benar dan salah. Dengan demikian, para manajer di organisasi yang sama sering memiliki nilai pribadi yang sangat berbeda. Ingatlah bahwa meskipun nilai dan tahap perkembangan moral itu tampaknya serupa, sebetulnya tidak sama. Nilai bersifat luas dan mencakup serangkaian luas permasalahan; tahap perkembangan moral secara khusus merupakan ukuran kemandirian terhadap berbagai pengaruh dari luar.
Dua variabel keperibadian, juga telah ditemukan untuk mempengaruhi tindakan individu menurut keyakinannya tentang apa yang benar atau salah, yaitu :
1. Kekuatan Ego (ego strength)
Yaitu ukuran kepribadian tentang kekuatan keyakinan seseorang. Orang yang tinggi skor kekuatan egonya cenderung melawan dorongan seketika (implus) untuk bertindak tidak etis dan sebaliknya cenderung mengikuti keyakinan mereka. artinya, individu-individu yang kekuatan egonya tinggi lebih cenderung melakukan apa yang mereka anggap benar. Kita mengharapkan para karyawan dengan kekuatan ego yang tinggi akan menunjukkan lebih konsisten pertimbang-an moral dan tindakan moralnya daripada karyawan yang rendah kekuatan egonya.
2. Tempat Kendali (locus of control)
Yaitu sifat kepribadian yang mengukur derajat sampai seberapa orang yakin bahwa mereka mampu mengendalikan nasib merekasendiri. Orang yang memiliki tempat kendali internal yakin bahwa mereka mampu mengendalikan nasib mereka sendiri; sementara orang yang memiliki tempat kendali eksternal yakin bahwa apa yang menimpa mereka dalam hidup ini disebabkan oleh keberuntungan atau kebetulan.
Bagaimana keyakinan itu bisa mempengaruhi keputusan seseorang untuk bertindak etis atau tidak etis? orang-orang eksternal cenderung kurang memikul tanggung jawab pribadi atas berbagai akibat perilaku mereka dan lebih cenderung mengandalkan kekuatan eksternal. Orang-orang internal itu, sebaliknya, lebih cenderung memikul tanggung jawab atas berbagai akibat dan mengandalkan standar batin mereka sendiri mengenai yang benar dan yang salah untuk membimbing perilaku mereka. juga, para karyawan dengan tempat kendali internal cenderung lebih konsisten dalam pertimbangan dan tindakan moral daripada tempat kendali eksternal.
C. Variabel-variabel struktural
Desain struktural organisasi menolong membentuk perilaku etis para pekerjanya. Beberapa struktur memberikan bimbingan yang kuat, sementara struktur lainnya hanya menciptakan ketidakjelasan dan terus-menerus mengingatkan para karyawan tentang apa yang etis lebih cenderung mendorong perilaku etis.
Mekanisme organisasi lainnya yang mempengaruhi etika meliputi sistem penilaian kinerja dan prosedur pemberian imbalan. Beberapa sistem penilaian kinerja organisasi berfokus khusus pada hasil. Lainnya mengevaluasi maksud sama seperti hasil. Ketika karyawan dievaluasi hanya pada hasilnya, mereka mungkin tertekan untuk melakukan apapun yang diperlukan untuk terlihat baik pada variabel hasil itu. Riset baru-baru ini menyarankan bahwa “kesuksesan dapat berlaku sebagai pemakluman atas perilaku yang tidak etis”. Bahayanya adalah jika manajer mengambil pandangan yang lebih lunak dari perilaku tak etis untuk karyawan yang sukses, karyawan lain akan meniru perilaku mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat. Sangat terkait dengan sistem penilaian adalah cara pemberian suatu pengahargaan.
Makin banyak penghargaan atau hukuman tergantung pada hasil tujuan tertentu, makin banyak tekanan pada karyawan untuk melakukan apa yang mereka harus capai untuk tujuan itu dan mungkin mengkompromikan standar etika mereka. walau faktor struktural itu berpengaruh penting pada karyawan, mereka bukanlah yang terpenting. Yang paling terpenting adalah dalam mempegaruhi keputusan seseorang untuk bertindak etis atau tidak etis. orang berusaha mencari apakah yang dilakukan oleh atasan dan menggunakan hal itu sebagai pedoman untuk praktik dan harapan yang dapat diterima.
D. Budaya organisasi
Kandungan dan kekuatan budaya organisasi tertentu juga mempengaruhi perilaku etis. suatu budaya organisasi yang paling cenderung mendorong standar etika yang tinggi adalah budaya yang tinggi dalam mentolerir risiko, tinggi pengendaliannya, dan tinggi konfliknya. Karyawan dalam budaya itu didorong untuk bersifat agresif dan inovatif, sadar bahwa praktik-praktik yang tidak etis akan terungkap, dan merasa bebas untuk menantang secara terbuka tuntutan atau harapan yang mereka anggap tidak realistis atau tidak dikehendaki secara pribadi.
Suatu budaya kuat akan lebih banyak mempengaruhi karyawan daripada budaya yang lemah. Apabila budaya itu kuat dan menopang standar etika yang tinggi, budaya itu tentunya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan positif terhadap keputusan bertindak etis atau tidak etis. The Boeing Company, misalnya, mempunyai budaya kuat yang telah lama menekankan hubungan perusahaan yang etis dengan para pelanggan, karyawan, masyarakat, dan pemegang saham. Untuk memperkuat pentingnya etika, perusahaan itu menyusun serangkaian poster serius dan membangkitkan ide yang dirancang untuk menarik perhatian para karyawan bahwa keputusan dan tindakan pribadi mereka itu penting dalam pandangan organisasi.
E. Intensitas masalah
Seorang mahasiswa yang tidak pernah berpikir untuk menyelinap masuk ruang dosen untuk mencuri ujian akutansi tidaklah berpikir dua kali untuk bertanya kepada seorang teman yang telah menempuh mata kuliah akutansi yang sama dari dosen yang sama tahun yang lalu, pertanyaan-pertanyaan apa yang ada dalam ujian itu. Demikian juga, seorang eksekutif yang mungkin tidak berpikir sedikit pun untuk membawa pulang beberapa barang perlengkapan kantor akan mampu resah untuk memikirkan kemungkinan peggelapan dana perusahaan.
Contoh-contoh itu menggambarkan faktor akhir yang mempengaruhi perilaku etis intensitas masalah etis itu sendiri. Sebagaimana diperlihatkan oleh gambar 5, enam karakteristik telah diidentifikasi sebagai hal yang relevan dalam menentukan intensitas masalah: besarnya kerugian, konsensus tentang kesalahan, kemungkinan kerugian, kecepatan akibatnya, jarak terhadap korban, dan konsentrasi akibat. Keenam faktor itu menentukan seberapa pentingnya masalah etika bagi seseorang. Dengan mengikuti pedoman itu, semakin besar jumlah orang yang dirugikan, semakin besar kesepakatan bahwa suatu perbuatan itu jahat, semakin tinggi kemungkinan bahwa tindakan itu akan menimbulkan kerugian, semakin pendek jarak waktu akibat tindakan itu akan dirasakan, semakin dekat orang merasa menjadi korban tindakan itu, semakin besar intensitas masalah tersebut. Ketika masalah etika penting―yaitu, semakin kuat masalah itu―semakin besar kita akan berharap para manajer berlaku secara etis.
1.11 Menuju Perbaikan Perilaku Etika
Para manajer dapat melakukan sejumlah hal jika mereka serius mau mengurangi praktik-praktik tidak etis di organisasi mereka. para manajer dapat berusaha mempekerjakan orang-orang yang memiliki standar etika yang tinggi, menentukan kode etik dan peraturan keputusan, memimpin dengan memberikan keteladanan, menyediakan pelatihan etika, melaksanakan audit sosial, dan mem-berikan dukungan kepada orang-orang yang menghadapi dilema etis.
Kalau diambil sendiri-sendiri, barangkali tindakan itu tidak akan banyak dampaknya. Tetapi apabila semua atau sebagian besar diantaranya dijalankan sebagai bagian program etika yang menyeluruh, tindakan-tindakan itu potensial secara nyata memperbaiki iklim etis organisasi. Istilah kuncinya di sini adalah potensi. Tidak ada jaminan bahwa program etika yang dirancang dengan baik akan menghasilkan hasil seperti yang dikehendaki.


DAFTAR PUSTAKA
Amirullah dan Rindyah Hanafi. 2002. Pengantar Manajemen. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 1999. Manajemen. Jilid 1. Jakarta : PT. Prehellindo.
Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 2007. Manajemen. Jilid 1. Edisi kedelapan. Jakarta : PT. Indeks.
Robbins, Stephen P. dan David A. Decenzo. 2003. Fundamentals of Management. New Jersey : Upper Saddle River.
Reksohadiprodjo, Sukanto. 1986. Dasar-dasar Manajemen. Yogyakarta : BPFE.
Stoner, James A.F. et al. 1996. Manajemen. Jilid I. Jakarta : PT Prenhallindo.
Tunggal, Amin Widjaja. 1993. Manajemen Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Wursanto, IG. 1986. Dasar-dasar Manajemen Umum. Jakarta : Pustaka Dian
Referensi
www.google.com
www.nusando.blogspot.com

referensi :