ETIKA MANAJERIAL
DAN FAKTOR FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI
ETIKA MANAJERIAL
Atik Mulyaningrum
Elia Dwi Astuti
Febriyani
Lia Oktavia
Revina
Kelompok 3
3EA31
UNIVERSITAS GUNADARMA
2019/2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 1
1.1 Pengertian
Etika................................................................................................................... 1
1.2 Pandangan Tentang Etika.................................................................................................... 1
1.3 Pengaruh Etika/Norma
Moral Atas Manajer........................................................................ 4
1.4 Tingkat Pertanyaan Etika
Dalam Bisnis............................................................................... 5
1.5 Unsur-unsur Etika................................................................................................................ 6
1.6 Moralitas Umum dan
Moralitas Kepedulian........................................................................ 7
1.7
Kepemimpinan
Etika............................................................................................................ 9
1.8 Tantangan Relativisme....................................................................................................... 10
1.9 Etika Dalam Konteks
Internasional................................................................................... 12
1.10 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Etika........................................................................... 13
1.11 Pandangan
Tentang Etika.................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 17
1.1 Pengertian
Etika
Pengertian dari etika, sampai
saat ini belum memiliki definisi yang jelas. Istilah etika mengacu pada
peraturan atau prinsip yang mendefinisikan tindakan benar dan salah. Menurut
kamus bahasa Indonesia, etika adalah suatu ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak ataupun moral. Pengertian etika lainnya dalam Webster’s New
Colegiate Dictionary mendefinisikan sebagai disiplin ilmu yang
mempelajari atau membicarakan apa yang baik dan buruk, dan apa tugas dan
kewajiban moral. Selain itu etika dapat diartikan pula sebagai sebuah studi
bagaimana keputusan kita mempengaruhi orang lain.
Etika manajerial adalah standar
prilaku yang memandu manajer dalam pekerjaan mereka. Ricky W. Griffin dalam
bukunya yang berjudul Business mengklasifikasikan etika
manajerial ke dalam tiga kategori:
- Perilaku terhadap karyawan
Kategori ini meliputi aspek
perekrutan, pemecatan, kondisi upah dan kerja, serta privasi dan respek.
Pedoman etis dan hukum mengemukakan bahwa keputusan perekrutan dan pemecatan
harus didasarkan hanya pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Perilaku yang
secara umum dianggap tidak etis dalam kategori ini misalnya mengurangi upah
pekerja karena tahu pekerja itu tidak bisa mengeluh lantaran takut kehilangan
pekerjaannya.
- Perilaku terhadap organisasi
Permasalahan etika juga terjadi
dalam hubungan pekerja dengan organisasinya. masalah yang terjadi terutama
menyangkut tentang kejujuran, konflik kepentingan, dan kerahasiaan. Masalah
kejujuran yang sering terjadi di antaranya menggelembungkan anggaran atau
mencuri barang milik perusahaan. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang
individu melakukan tindakan untuk menguntungkan diri sendiri, namun merugikan
atasannya. Misalnya, menerima suap. Sementara itu, masalah pelanggaran etika
yang berhubungan dengan kerahasiaan di antaranya menjual atau membocorkan
rahasia perusahaan kepada pihak lain.
- Perilaku terhadap agen ekonomi lainnya
Seorang manajer juga harus
menjalankan etika ketika berhubungan dengan agen-agen ekonomi lain—seperti
pelanggan, pesaing, pemegang saham, pemasok, distributor, dan serikat buruh.
Agar perusahaan tersebut baik
di mata dunia maka seorang manajer harus memiliki etika yang baik. Para manajer
yang memiliki etika yang baik akan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai manajer
dengan penuh tanggung jawab. Etika dipergunakan dimana saja ia berada. Baik
dalam mengambil keputusan, memimpin suatu rapat, berinteraksi kepada rekan
kerjanya, dan terhadap para karyawannya.
1.2 Pandangan
Tentang Etika
Empat sudut pandang mengenai
etika bisnis, mencakup pandangan sebagai berikut :
- Pandangan etika utilitarian (ulititarian view of
ethics)
Menyatakan bahwa
keputusan-keputusan etika dibuat semata-mata berdasarkan hasil atau akibat
keputusan itu. Teori utilitarian menggunakan metode kuantitatif untuk membuat
keputusan-keputusan etis dengan melihat pada bagaimana cara memberikan manfaat
terbesar bagi jumlah terbesar. Jika mengikuti pandangan utilitarian, seorang
manajer dapat menyimpulkan bahwa memecat 20% angkatan kerja di perusahaan itu
dapat dibenarkan karena tindakan itu akan meningkatkan laba pabrik
tersebut, memperbaiki keamanan kerja bagi 80% karyawan sisanya, dan akan sangat
menguntungkan para pemegang saham. Utilitarian mendorong efisiensi dan
produktivitas dan konsisten dengan sasaran memaksimalkan laba. Namun di lain
pihak, pandangan itu dapat menyebabkan melencengnya alokasi sumber daya,
terutama apabila beberapa orang yang terkena dampak keputusan itu tidak
memiliki perwakilan atau suara dalam keputusan tersebut. Utilitarianisme dapat
juga menyebabkan hak-hak sejumlah pemercaya menjadi terabaikan.
- Pandangan etika hak (right view of ethics)
Sudut pandang etika lain adalah
pandangan etika hak, yang peduli terhadap penghormatan dan perlindungan hak dan
kebebasan pribadi individu, seperti hak terhadap kerahasiaan, kebebasan suara
hati, kemerdekaan berbicara, dan proses semestinya. Penghormatan dan
perlindungan itu mencakup, misalnya, melindungi hak para karyawan terhadap
kebebasan berbicara ketika mereka melaporkan pelanggaran undang-undang oleh
majikan mereka. Segi positif sudut pandang hak itu ialah bahwa sudut pandang
tersebut melindungi kerahasiaan dan kebebasan individu. Tetapi sudut pandang
tersebut memiliki sisi negatif bagi organisasi. Sudut pandang itu dapat
menimbulkan berbagai hambatan terhadap produktivitas dan efisiensi yang tinggi
dengan menciptakan iklim kerja yang lebih memperhatikan perlindungan hak
individu daripada penyelesaian pekerjaan.
- Pandangan etika teori keadilan (theory of justice
view of ethics)
Pandangan berikutnya adalah
pandangan etika teori keadilan. Berdasarkan pendekatan ini, para manajer harus
menerapkan dan memaksakan dan mendorong peraturan secara adil dan tidak memihak
dan tindakan itu dilakukan dengan mengikuti seluruh peraturan dan
perundang-undangan di bidang hukum. Manajer akan menggunakan sudut pandang
teori keadilan dengan memutusakan untuk memberikan tingkat upah yang sama
kepada individu-individu yang mempunyai tingkat keahlian, kinerja, atau
tanggung jawab yang sama dan bukan didasarkan pada perbedaan yang
sewenang-wenang seperti jenis kelamin, kepribadian, ras, atau favoritisme
pribadi. Menerapkan standar keadilan juga memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Pandangan itu melindungi kepentingan para pemercaya yang barang kali tidak
mempunyai perwakilan yang memadai atau tidak mempunyai kekuasaan, tetapi
pandangan tersebut dapat mendorong perasaan mempunyai hak resmi untuk memiliki
atau menerima sesuatu (sense of entitlement) yang mungkin membuat para
karyawan mengurangi pengambilan risiko, inovasi, dan produktivitas.
- Pandangan etika teori kontrak sosial terpadu (integrative
social contracts theory)
Sudut pandang etika yang
terakhir, pandangan etika teori kontrak sosial terpadu, mengusulkan bahwa
keputusan etika harus didasarkan pada keberadaan norma-norma etika di industri
dan masyarakat sehingga menentukan apakah undang-undang benar atau salah.
Pandangan itu didasarkan pada penggabungan dua “kontrak”; kontrak sosial umum
yang mengizinkan dunia bisnis menjalankan dan mendefinisikan peraturan dasar
yang bisa diterima, dan kontrak yang lebih khusus di antara para anggota
komunitas tertentu yang mencakup cara ber-perilaku yang dapat diterima.
Misalnya, dalam menentukan berapa upah yang harus dibayar kepada para pekerja
di sebuah pabrik baru di Ciudad Juarez, Meksiko, para manajer yang mengikuti
teori kontrak sosial terpadu akan mendasarkan keputusan tersebut pada tingkatan
upah yang telah ada di masyarakat. Walaupun teori ini berfokus pada melihat
pada praktik yang telah ada, masalahnya adalah beberapa dari praktik ini
mungkin tidaklah etis.
Dari keempat pendekatan tentang
etika di atas, pendekatan etika manakah yang paling banyak diikuti dunia
bisnis? Mungkin tidak mengejutkan lagi bahwa kebanyakan para pengusaha
mengikuti pendekatan pandangan etika utilitarian. Karena pendekatan tersebut
konsisten dengan sasaran bisnis seperti efisiensi, produktivitas, dan laba.
Walau begitu, pandangan itu memerlukan perubahan karena perubahan dunia yang
dihadapi para manajer. Kecenderungan ke arah hak-hak individu, keadilan sosial,
dan standar masyarakat berarti bahwa para manajer memerlukan pedoman etika yang
didasarkan pada kriteria non utilitarian. Itu merupakan tantangan yang mencolok
bagi para manajer karena membuat keputusan berdasarkan kriteria seperti itu
melibatkan jauh lebih banyak ketidakjelasan bila dibandingkan jika menggunakan
kriteria utilitarian seperti efisien dan laba. Hasilnya, tentu saja, adalah
bahwa para manajer semakin banyak mengalami pergulatan dengan berbagai dilema
etis.
1.3 Pengaruh
Etika/Norma Moral Atas Manajer
Putusan dan tindakan para
manajer dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma buruk baik yang dianutnya.
Norma etika manajer itu berpengaruh terhadap tindakan dan putusan organisasi,
walaupun harus diakui keadaan tertentu yang sedang dihadapinya sangat besar
pengaruhnya terhadap perilaku seorang manajer.
Pengkajian yang terakhir
mengenai nilai-nilai dan norma-norma etika, yang dilakukan oleh Barry Posner
dan Warren Schmidi menyimpulkan hal-hal berikut ini:
1. Tujuan utama para
manajer adalah bagaimana membuat organsasi berhasil.
2. Maksimalisasi
keuntungan dan kepentingan pemilik usaha bukan tujuan sentral manajer.
3. Melayani para pelanggan
penting bagi manajer.
4. Integritas merupakan
ciri yang dinilai penting oleh semua tingkat manajer.
5. Desakan kepatuhan pada
norma organisasi dipandang juga cukup tinggi.
6. Bantuan istri dan suami
cukup penting dalam mengatasi masalah etis.
7. Rekan sesama manajer
merupakan penasihat yang berharga dalam mengatasi masalah-masalah etis.
Peneliti lainnya Robert J.
Mockler mengutarakan lima faktor yang mempengaruhi keputusan yang menyangkut
masalah etis, yaitu :
1. Undang-undang yang
memberi batasan standar etis yang minim sesuatu soal tanpa menghiraukan adanya
hal-hal yang tercakup oleh undang-undang yang masih merupakan daerah kelabu.
2. Peraturan-peraturan
pemerintah yang menyederhanakan soal dengan me-nentukan apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh, maupun masih terlalu mudah untuk dilanggar.
3. Kode etik organisasi
dan usaha yang juga nampak menyaderhanakan faktor-faktor mana yang secara etis
hanya dipedomankan oleh para manajer. Namun sayangnya di banyak organisasi,
standar etis ini sering tidak jelas secara tertulis sehingga sukar diikuti
prosedur pelaksanaannya. Bahkan yang tertulis pun masih dituntut sikap jujur
dan hati nurani manajer untuk mematuhinya.
4. Desakan sosial malah
membuat ruwetnya masalah etik ini karena nilai dan norma satu kelompok
masyarakat tidak sesuai dengan kelompok masyarakat lainnya.
5. Ketegangan antara norma
pribadi dengan kebutuhan organisasi juga membuat rumitnya tugas manajer. Norma
pribadi sebagai warga masyarakat sering bentrok dengan kepentingan organisasi.
Kalau seorang bawahan
mengetahui perbuatan atasannya yang tidak etis, dia menghadapi kesulitan untuk
berbuat. Kesulitan ini oleh James A. Walters disebut sebagai hambatan
organisasi (organization blocks) yang terdiri dari tiga macam hambatan
yaitu :
1. Rantai
komando
Yaitu kepatuhan kepada atasan
sulit bagi bawahan untuk melaporkan perbuatan atasannya yang tidak etis. Karena
atasan dari atasannyapun mempunyai standar nilai dan norma yang sama. Dan
melaporkan atasan kepada atasannya dianggap sebagai pelanggaran norma rantai
komando.
2. Keanggotaan
dan kesetiaan pada kelompok
Keanggotaan dan kesetiaan pada
kelompok juga membuka kemungkinan tertutupnya hal-hal yang bersifat tidak etis.
Tidaklah bijaksana bagi anggota kelompok untuk mengkhianati kelompoknya. Ini
yang biasa disebut dengan kolusi.
3. Skala
prioritas yang tidak tegas
Yaitu timbul kebingungan kalau
sudah sampai kepada tingkat dibuatnya kebijakan justru untuk dilanggar.
Karyawan etis akan bingung harus me-matuhi kebijakan yang mana. Dan timbullah
perasaan serba salah.
Untuk mengatasi
perbuatan-perbuatan yang tidak etis terdapat beberapa langkah yaitu :
1. Pimpinan organisasi
menentukan kebijakan secara jelas dan pasti yang mendorong perbuatan etis
anggotanya.
2. Manajemen bertanggung
jawab atas semua bawahannya yang berbuat salah dan tidak etis dengan tindakan
disiplin yang tegas.
3. Tersedianya saluran
untuk menampung pengaduan, umpamanya dengan mendirikan lembaga pendidikan yang
bebas tanpa membahayakan si pelopor.
4. Pendidikan, latihan,
dan usaha-usaha sejenis lainnya untuk menanamkan kode etik, sehingga dapat
dikembangkan para manajer yang berkesadaran dan bermental baik.
1.4 Tingkat
Pertanyaan Etika Dalam Bisnis
Kita tidak dapat menghindari
isu etika dalam bisnis seperti yang dapat kita hindari dalam masa-masa hidup
kita yang lalu. Dalam bisnis, kebanyakan pertanyaan etika termasuk dalam salah
satu atau beberapa dari empat kategori, yaitu sosial, pihak yang
berkepentingan, kebijakan internal, atau pribadi.
1. Sosial
Pada tingkat sosial, kita
mengajukan pertanyaan mengenai institusi dasar dalam masyarakat. Masalah
apartheid di Afrika Selatan adalah salah satu pertanyaan tingkat sosial. Apakah
benar secara etika mempunyai sistem sosial yang sekelompok orang―sebenarnya
mayoritas―secara sistematik tidak diperbolehkan mempunyai hak-hak asasi?
Walaupun perubahan akhir-akhir ini di Afrika Selatan telah mengakhiri sistem
apharteid, masih sulit membahayakan seberapa mulus pelaksanaan transisi untuk
persamaan hak. Perusahaan yang ingin melakukan bisnis disana masih menghadapi
sejumlah masalah kompleks seperti politik, ekonomi, dan perubahan dinamika
sosial; situasi yang masih dapat menimbulkan masalah etika yang sulit bagi
banyak perusahaan.
Pertanyaan tingkat sosial
biasanya mewakili debat yang masih berlangsung di antara institusi yang
bersaing. Sebagai manajer dan individu, kita masing-masing dapat mencoba untuk
membentuk debat tadi. Andrew Carnegie (bersama dengan para ahli perintis teori
yang lain mengenai tanggung jawab sosial perusahaan) bekeja pada tingkat ini
ketika dia berargumentasi bahwa peran yang memadai dari sebuah bisnis
seperti U.S Steelmiliknya sendiri adalah menerapkan prinsip amal
untuk membantu kaum miskin dan yang kurang beruntung.
2. Pihak yang
berkepentingan
Jenis pertanyaan etika kedua
menyangkut pihak yang berkepenting-an―pemasok, pelanggan, pemegang saham, dan
yang lain. Di sini kita mengajukan pertanyaan mengenai cara sebuah perusahaan
seharusnya menangani kelompok eksternal yang terpengaruh oleh keputusannya, di
samping bagaimana pihak yang berkepentingan seharusnya berhubungan dengan
perusahaan.
Banyak isu mengenai pihak yang
berkepentingan. Perdagangan oleh orang dalam (inside trading) adalah
salah satunya; yang lain adalah kewajiban perusahaan untuk menginformasikan
kepada semua pelanggan mengenai bahaya potensial dari produknya. Kewajiban apa
yang dimiliki oleh perusahaan terhadap pemasoknya? Terhadap masyarakat tempat
perusahaan beroperasi? Terhadap pemegang saham? Bagaimana seharusnya kita
berusaha memutusakan masalah-masalah seperti itu? Manajer Kinko’s dalam
menghadapi pertanyaan etika apa pun akan menghormati pemegang hak cipta sebagai
pihak yang berkepentingan.
3. Kebijakan internal
Kategori ketiga dari etika
mungkin disebut “kebijakan internal”. Di sini kita mengajukan mengenai sifat
hubuingan perusahaan dengan para karyawannya. Kontrak perjanjian kerja seperti
apa yang adil? Apa yang menjadi kewajiban bersama dari manajer dan pekerja? Apa
hak yang dimiliki oleh karyawan? Pertanyaan-pertanyaan ini juga mengisi
hari-hari kerja seorang manajer? Dirumahkan, tunjangan, peraturan kerja,
motivasi, dan kepemimpinan merupakan etika di sini.
4. Pribadi
Di sini kita mengajukan
pertanyaan mengenai bagaimana orang seharusnya saling memperakukan di dalam
sebuah organisasi. Apakah kita harus saling bersikap jujur, apa pun
konsekuensinya? Apa kewajiban yang kita punyai―baik sebagai manusia maupun
sebagai pekerja yang mengisi peran kerja spesifik―terhadap atasan kita,
karyawan kita, dan rekan sekerja kita? Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut isu
sehari-hari kehidupan organisasi apa pun. Di belakang mereka terdapat dua isu
yang lebih besar. Apakah kita berhak untuk melihat orang lain terutama sebagai
tujuan akhir kita? Apakah kita dapat menghindari hal itu?
Salah satu contoh dalam
memenuhi kewajiban etika adalah Kidd & Co. Ketika kebakaran
merusak Kidd & Co, sebuah pabrik marshmallow (semacam
kembang gula) di Nevada miliki sebuah keluarga, wakil presidennya, John Kidd,
dan kakak laki-lakinya Charlie memutuskan untuk membayar 63 orang karyawan
mereka, sementara mereka membangun pabrik kembali, menghormati kewajiban
terhadap karyawan dan pihak yang berkepentingan lain. Sebagai imbalannya, para
karyawan melakukan kerja sosial bagi masyarakat.
1.5 Unsur-unsur
Etika
Sadar atau tidak sadar, kita
terlibat dalam pemikiran etika setiap hari dalam kehidupan kita. Untuk
meningkatkan pemahaman etika, kita harus menganalisis secara eksplisit dan
mempraktekkan setiap hari. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sebagai
berikut :
1. Nilai
Yaitu keinginan yang relatif
permanen yang tampaknya memang baik, seperti damai atau kehendak baik.
Nilai-nilai merupakan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya, Anda membaca
buku ini? Anda mungkin menjawab bahwa Anda ingin belajar mengenai manajemen.
Mengapa hal itu penting? Agar menjadi manajer yang lebih baik. Mengapa Anda
menginginkan hal itu? Agar dapat dipromosikan dan segera mendapat gaji yang
besar. Mengapa Anda memerlukan lebih banyak uang? Pertanyaan seperti itu dapat
diteruskan, sampai Anda mencapai suatu titik sampai Anda tidak menginginkan
sesuatu untuk sesuatu yang lain. Pada saat itu, Anda telah sampai pada
nilai-nilai. Perusahaan juga mempunyai nilai-nilai, seperti ukuran, kemampuan
menghasilkan laba, atau membuat produk bermutu tinggi.
2. Hak
dan Kewajiban
Hak adalah tuntutan yang
memberikan “ruang” kepada seseorang untuk melakukan tindakan. Dalam istilah
yang lebih formal, seseorang dapat menamakan ruang ini sebagai “bidang otonomi”
atau, lebih sederhana, kebebasannya. Hak jarang bersifat absolut; kebanyakan
orang akan setuju bahwa cakupan hak individual dibatasi oleh hak orang lain.
Biasanya, Anda mempunyai hak untuk mengutarakan pikiran Anda dengan bebas―sampai
Anda membuat pernyataan yang memfitnah orang lain.
Lebih lanjut, hak berhubungan
dengan kewajiban. Kalau seseorang mempunyai hak, orang lain mempunyai kewajiban
untuk menghormatinya. Kewajiban adalah keharusan untuk mengambil
langkah-langkah tertentu ―membayar pajak, misalnya, dan mematuhi undang-undang
untuk menghormati orang lain.
3. Peraturan
Moral
Peraturan moral membimbing kita
melewati situasi dimana terjadinya benturan kepentingan yang bertentangan. Anda
mungkin memikirkan peraturan moral sebagai “perlombaan untuk mencari pemenang
dari peserta dengan nilai yang sama dalam perlombaan sebelumnya”―pedoman yang
dapat menyelesaikan perselisihan. Peraturan moral, yang mengatur tingkah laku,
sering kali diserap menjadi nilai-nilai.
4. Hubungan
Manusia
Setiap manusia berhubungan
dengan manusia lain dalam jaringan hubungan. Oleh sebab itu manusia disebut
dengan makhluk sosial. Hubungan ini ada karena kita saling membutuhkan untuk
saling mendukung dan mencapi sasaran kita bersama. Dari hubungan anak kecil
dengan orang tuanya sampai hubungan manajer dengan seorang karyawan, hubungan
dipandang sebuah aspek kehidupan moral. Kita secara konstan memutusakan
bagaimana mempertahankan dan memeliharanya. Keputusan ini mencerminkan
nilai-nilai kita dan perhatian kita pada etika.
1.6 Moralitas
Umum dan Moralitas Kepedulian
Moralitas umum adalah peraturan
moral utama yang mengatur masalah etika sehari-hari. Ada peraturan yang kita
jalani seumur hidup kita, dan yang kita pakai untuk memahami masalah manajerial
dalam arti etika. Di bawah ini secara singkat beberapa prinsip dasar moralitas
umum untuk mengetahui bagaimana kerjanya.
1. Manepati
janji
Kebanyakan orang ingin
mempunyai kepastian bahwa orang lain akan melakukan apa yang mereka katakan.
Tanpa perjanjian sederhana untuk menepati janji, interaksi sosial akan
berhenti; bisnis tidak mungkin dilakukan. Jadi setiap teori moral meyakinkan,
paling sedikit, bahwa manusia kebanyakan harus menepati sebagian besar janji
mereka. Perdagangan oleh orang dalam sebagian menjadi semacam skandal karena
mereka yang tertangkap telah berjanji untuk tidak terlibat dalam aktivitas
semacam itu.
2. Tidak
suka dengki
Antara lain, hak dan kewajiban
mempunyai berbagai cara untuk mencegah konflik yang keras. Bila kita secara
konstan harus mengkhawatirkan keselamatan dasar fisik kita, kita mungkin akan
berkurang berminat untuk mempercayai orang lain dan terlibat dalam perjanjian
kompleks yang mungkin menimbulkan perselisihan dengan mereka. Oleh karena itu,
kebanyakan teori moral memberikan syarat bahwa kebanyakan orang, biasanya,
menahan diri dari menyakiti orang lain.
Tentu saja ada perkecualian.
Kita mengizinkan polisi menggunakan ke-kuasaan untuk menahan kriminal; kita
menerima perang yang kita anggap hanya sebagai perang; dan kita mengizinkan
orang lain untuk mempertahankan diri kalau mereka diserang tanpa sebab. Tetapi
moralitas mengharuskan kita menghindari dari kekerasan dalam menyelesaikan
perselisihan.
3. Saling
membantu
Umat manusia dapat tetap
lestari dengan mengakui bahwa orang saling tergantung dan saling membantu.
Donor darah dan United Way merupakan contoh-contoh yang baik.
Menurut prinsip saling membantu, individu harus saling membantu jika melakukan
hal itu memerlukan biaya besar.
4. Menghargai
orang
Moralitas umum juga mengharuskan
kita menganggap orang lain sebagai pribadi dengan cita-cita sendiri, bukan
sebagai cara untuk mencapai cita-cita kita. Memperlakukan orang sebagai pribadi
termasuk menanggapi mereka dengan serius, menerima kepentingan mereka sebagai
sesuatu yang sah, dan menganggap penting kehendak mereka.
5. Menghargai
milik
Milik memainkan peran menonjol
dalam kapitalisme. Ide yang mendasari milik adalah prinsip bahwa kebanyakan
orang, pada umumnya, harus mendapat persetujuan orang lain sebelum menggunakan
milik mereka. Bila Anda memikirkan orang lain memiliki badan mereka sendiri,
menghargai milik merupakan konsekuensi dari menghargai individu. Di Kinko’s,
isunya adalah menghargai pemegang hak cipta dan hak cipta tersebut sebagai
milik.
Ahli teori baru-baru ini
seperti Carol Gilligan dan Nell Noddings telah ber-argumentasi bahwa moralitas
umum―moralitas peraturan dan keadilan―adalah hanya salah satu perspektif untuk
penalaran moralitas. Mereka mengusulkan bahwa ada dua untai teori moral, yaitu
perspektif untuk penalaran moralitas. Mereka mengusulkan modus alternatif dari
penalaran yang disebut “etika kepedulian”. Gilligan mengusulkan bahwa ada dua
untai teori moral, yaiutu perspektif keadilan dan perspektif kepedulian―dengan
perspektif keadilan lebih umum dijumpai di antara kaum pria dan perspektif
kepedulian lebih umum di antara kaum wanita.
|
KEADILAN
|
KEPEDULIAN
|
Orientasi
Modus Pemikiran
Ide mengenai moralitas
Penyelesaian konflik
Tanggung jawab
Citra kekerasan
Metafora hubungan
|
Pemisahan; otonomi
Formal; abstrak
Keadilan; hak; persamaan
Yang penting individu
“Logika formal dari keadilan”
Pemisahan ditentukan oleh etika hak
Menyeimbangkan hak; bertentangan dengan keputusan hakim
Membatasi agresi dan melindungi hak
Kedekatan
Hierarki atau keseimbangan
|
Persatuan; saling ketergantungan
Kontekstual; naratif
Kepedulian; tanggung jawab
Yang penting hubungan “Logika psikologi dari hubungan”
Persatuan dikehendaki oleh etika peduli
Komunikasi; melindungi hubungan
Perluasan kepedulian dan memelihara hubungan
Isolasi
Jaringan kerja
|
Tabel 1. Kunci Perbedaan dalam
Perspektif Keadilan dan Kepedulian.
Orang yang bekerja dengan
perspektif keadilan menekankan pemisahan dari orang lain dan kehidupan otonomi.
Mereka melihat penyelesaian masalah moral adalah menyeimbangkan hak yang saling
bertentangan dengan cara moral dan abstrak. Sebaliknya, perspektif kepedulian
mempunyai ciri adanya rasa yang berkaitan dengan orang lain, kehidupan yang
saling menyayangi dan peduli, dan pandangan bahwa masalah moral muncul dari
tanggung jawab yang saling bertentangan, yang sering kali memerlukan
interpretasi halus tentang hubungan.
Orang yang mempunyai perspektif
keadilan takut terlibat dalam berhubungan dengan orang lain. Mereka ingin melindungi
hak yang memperhatikan pemisahan. Mereka yang bekerja dalam perspektif
kepedulian, sebaliknya takut bahwa moralitas yang didasarkan pada hak dan tanpa
campur tangan akan memberikan sanksi acuh tak acuh dan ketidak pedulian. Orang
yang mempunyai perspektif keadilan melontarkan kritik perspektif kepedulian
sebagai tidak meyakinkan, ragu-ragu, dan tidak konsisten karena penekanan pada
situasi. Mereka yang mempunyai perspektif kepedulian menganggap orientasi
keadilan tidak berperasaan, tidak mempunyai emosi, dan takut pada komitmen.
Perlu disadari bahwa kedua
perspektif tersebut dipergunakan semuanya. Mungkin akhirnya teori yang lebih
lengkap akan memadukan kedua pandangan tadi. Sekarang, kita harus berjuang
untuk memahami orang dengan perspektif yang berbeda dari perspektif kita
sendiri dan mencoba untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan kedua belah
pihak.
1.7 Kepemimpinan
Etika
Manajer harus memberikan
kepemimpinan yang etis. Seperti yang ditetapkan oleh manajer mempunyai pengaruh
yang kuat pada keputusan karyawan untuk berperilaku etis atau tidak. Ketika
manajer berbuat curang, berbohong, mencuri, memanipulasi, mengambil keuntungan
dari situasi atau orang, atau memperlakukan orang lain dengan tidak adil,
pertanda apakah yang mereka kirimkan pada karyawan (atau pemegang kuasa yang
lain)? Mungkin bukanlah sesuatu yang mereka ingin berikan. Apakah yang dapat
dilakukan manajer untuk memberikan kepemimpinan yang etis?
Hal terbaik yang dapat
dilakukan oleh manajer adalah menjadi contoh yang baik. Berlaku etislah dan
jujurlah. Sayangnya, dalam sebuah polling nasional, hanya 54 persen dari
karyawan yang berkata mereka percaya kebanyakan eksekutif perusahaannya adalah
jujur dan etis. walau begitu, karyawan sangat membutuhkan kejujuran lebih dari
dari segala mutu kepemimpinan yang lain. Sebuah daftar yang terdiri dari 28
atribut, sebuah survei karyawan berkata kejujuran sejauh ini adalah yang paling
penting, diikuti oleh integritas/moral/etika. Apakah yang dimaksud menjadi
jujur? Ini berarti mengatakan yang sebenarnya. Ini berarti tidak menyembunyikan
atau memanipulasi informasi. Bahkan berita buruk lebih dapat ditoleransi ketika
orang tahu mereka sedang mengatakan hal yang sebenarnya.
Karena kejujuran ditempat kerja
tidak dapat diatur atau diundang-undangkan, ini harus didorong oleh para
pemimpin yang jujur dan berkemauan untuk mengakui kesalahan mereka. Hal lain
yang harus dilakukan para pemimpin yang etis meliputi berbagai nilai-nilai
mereka yaitu, secara berkala berkomunikasi pada karyawan tentang apa yang mereka
yakini tentang etika dan nilai; menekankan nilai bersama yang penting melalui
perwujudan budaya organisasi yang nyata seperti simbol, kisah, perayaan, dan
slogan; dan menggunakan sistem penghargaan untuk menjaga setiap orang
bertanggungjawab terhadap nilai-nilai, yang berarti memberi perhatian mana
perilaku karyawan dihargai dan mana yang di hukum.
1.8 Tantangan
Relativisme
Pada akhirnya, kita semua harus
berhadapan dengan tantangan relativisme pada etika pada umumnya. Banyak versi
relativisme moral, tetapi semuanya mengatakan bahwa kita tidak dapat memutuskan
sesuatu benar dan salah, baik dan buruk, dengan cara yang rasional.
Relativisme moral tampaknya
berarti bahwa benar dan salah bersifat relatif pada siapa pun yang membuat
keputusan, hanya ada jawaban individual pada pertanyaan moral apa pun.
Relativisme juga mengatakan bahwa argumen moral konstruktif tidak mungkin,
karena setiap orang akan melakukan hal yang benar untuk dirinya sendiri.
Walaupun kita mungkin menderita terhadap masalah moral, kita tidak mempunyai
cara yang pasti untuk memutuskan bahwa sebuah keputusan secara moral lebih baik
dari yang lain.
A. Relativisme Naif
Relativisme yang tersebar
paling luas mungkin disebut relativisme naif―ide bahwa semua manusia merupakan
standar untuk menilai tindakan mereka sendiri. Penganut relativisme naif
percaya bahwa karena keputusan etika bersifat pribadi, penting, dan kompleks,
hanya opini pengambil keputusan yang relevan.
Akan tetapi, hal itu tidak
sesuai dengan sifat pribadi dan serius mengenai moralitas bahwa kita tidak
dapat mempertanyakan alasan mengenai hal itu―amat berawanan. Tepatnya karena
moralitas demikian penting bagi hidup kita, kita harus memikirkan yang terbaik
dalam bidang ini, dan untuk hal itu kita memerlukan bantuan orang lain yang terlibat
dalam proses pemikiran moral. Bila kita menolak ide bahwa keyakinan moral
seseorang harus dipertahankan terhadap penelitian yang cermat dan kritik.
Toleransi orang lain adalah
penting dan baik, tetapi relativisme naif menerima toleransi terlalu jauh.
Orang sering kali tidak setuju mengenai pertanyaan moral, tetapi kita
seharusnya tidak menyimpulkan bahwa tidak akan pernah ada alasan apa pun untuk
segala yang kita lakukan, atau bahwa suatu tindakan selalu sama baiknya dengan
yang lain. Sebaliknya, kita harus mencoba memilah-milah, karena bila tidak,
kita telah mengaku kalah kalau berbicara mengenai hidup kita sendiri. Di
samping itu, toleransi pengikut relativisme naif untuk semua sudut pandang
merupakan kontradiksi dalam arti pandangan itu sendiri merupakan suatu sudut
pandang absolut: “Kita harus selalu bersikap toleran”.
Bahkan ada argumen yang lebih
memaksa melawan relativisme naif. Dalam memaksakan bahwa pengujian moral dari
tindakan apapun adalah apakah seseorang percaya tindakan itu tepat, relativisme
naif memberi tahu kita bahwa kita tidak perlu memeriksa isi dari
tindakan tertentu; kita hanya perlu mencari apakah orang yang bertindak itu
sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, penilaian apaun yang diambil
mengenai suatu tindakan menyangkut isu seperti aborsi, pembunuhan bayi,
kebebasan sipil, dan hukuman mati perlu ditangguhkan. Kegagalan yang nyata dari
relativisme naif adalah kemalasannya: Itu bukan keyakinan, tetapi lebih
merupakan alasan karena tidak mempunyai keyakinan. Sulit untuk mengatur fakta
dan menyusun teori mengenai banyak pertanyaan etika, dan penganut relativisme
naif tidak ingin diganggu. Kemalasan moral seperti itu menuntut biaya. Moral
itu mengharuskan untuk melupakan harapan apa pun untuk hidup dalm dunia yang
lebih baik atau menjadi manusia yang lebih baik.
B. Relativisme Budaya
Bentuk kedua dari relativisme
moral, relativisme budaya, menyatakan bahwa moralitas bersifat relatif terhadap
budaya, masyarakat, atau komunitas tertentu. Bentuk ini lebih lanjut meyakinkan
bahwa tidak ada standar yang dapat membantu kita menilai moralitas dari budaya
tertentu, dan bahwa harapan paling baik yang dapat dilakukan oleh seseorang
adalah untuk memahami kode moral dan kebiasaan dari suatu masyarakat.
Relativisme budaya memberi tahu
kita untuk mencoba memahami, misalnya, moralitas orang Kenya atau moralitas
orang Timur Tengah, tetapi bukan untuk menilai mereka. Bila norma dan kebiasaan
dimiliki bersama oleh anggota dari masyarakat apa pun, hak apa yang kita miliki
untuk melontarkan kritik kepada mereka dari sudut pandang eksternal? Mengapa
bagian lain dunia harus menerima ide kita mengenai moralitas?
Kalau perusahaan terperangkap
di antara moral dan permintaan legal yang bertentangan dari beberapa budaya,
satu-satunya nasihat yang dapat diberikan oleh penganut relativisme budaya
adalah sebagai berikut. Kerjakan apa yang Anda suka, karena Anda akan melanggar
peraturan sah apa pun yang Anda kerjakan. Jadi, bukannya membantu Dresser
keluar dari situasi yang sulit, relativisme budaya hanya akan menegaskan
realisasi bahwa perusahaan tidak mungkin terlepas dari dilema.
Masalah kedua dengan
relativisme budaya adalah bahwa sebagian besar besar budaya cukup berbeda. Oleh
karena itu apa yang mungkin tampak norma berlaku mungkin mencerminkan
nilai-nilai dari semua populasi, atau bahkan mayoritas. Relativisme menawarkan
sebuah kontribusi untuk berdebat mengenai etika dalam bisnis. Relativisme
mengingatkan kita pada keadaan saling mempengaruhi antara individu dan
masyarakat—persyaratan dasar untuk pemikiran etika.
Tantangan dari relativisme
menggambarkan dalam dan kompleksnya etika. Ada godaan untuk mengambil jalan
keluar yang mudah yang disediakan oleh relativisme. Setelah kita membuat
keputusan bahwa manajemen mempunyai komponen etika yang besar, tidak ada jalan
keluar dari percakapan kompleks yang etis. dengan mengemukakan secara eksplisit
mengenai bagaimana hubungan etika dan manajemen, manajer dapat memperbaiki
kemampuannya untuk menarik kesimpulan mengenai etika.
1.9 Etika
Dalam Konteks Internasional
Perbedaan sosial dan budaya
antarnegara merupakan faktor-faktor lingkungn penting yang mentukan perilaku
etis dan tidak etis. misalnya, manajer sebuah perusahaan Meksiko menyuap
bebrapa pejabat tinggi pemerintah di Mexico City untuk mendapatkan kontrak pemerintah
yang menguntungkan. Praktik semacam itu akan dianggap tidak etis, bahkan
melawan hukum, di Amerika Serikat. Tetapi langkah itu merupakan praktik bisnis
biasa di Meksiko.
Dalam kasus membayar dalam
rangka mempengaruhi para politikus atau pejabat asing, ada undang-undang yang
dapat membimbing para manajer Amerika Serikat. The Foreign Corrupt Practies
Act, menganggap tidak legal jika perusahaan Amerika Serikat secara sengaja
menyogok pejabat asing. Bahkan peraturan itu pun tidak senantiasa membuat berbagai
dilema etis itu menjadi hitam putih. Di sejumlah negara Amerika Latin,
misalnya, para birokrat pemerintah mendapat gaji yang amat rendah karena
adat-istiadat mendiktekan bahwa mereka hanya loyal menerima sedikit uang dari
orang-orang yang mereka layani. Pembayaran-pembayaran itu “melicinkan mesin”
pemerintahan dan menjamin bahwa segala sesuatunya dilaksanakan. The Foreign
Corrupt Practies Act tidak dengan tegas melarang uang sogok kecil-kecilan
kepada pegawai pemerintah asing yang tugasnya terutama bersifat melayani atau
tulis-menulis jika di negara tertentu uang sogok semacam itu merupakan bagian
praktik bisnis yang diterima.
Sangat sulit bagi para manajer
perorangan yang bekerja dalam kebudayaan asing untuk menyadari berbagai
pengaruh sosial, budaya, serta politik dan hukum terhadap apa yang dianggap
perilaku yang wajar dan dapat diterima. Dan organisasi global harus pula
memperjelas garis pedoman etika organisasi tersebut agar para karyawan
mengetahui apa yang diharapkan dari mereka sewaktu bekerja di lokasi tertentu
di luar negeri. Itu menambah dimensi lain ke dalam pembuatan keputusan etis.
Pada Forum ekonomi Dunia di
bulan Januari 1999, Sekjen PBB menantang para pemimpin di dunia untuk
“menerapkan dan melaksanakan” Kesepakatan Global, dokumen yang merangkum
sembilan prinsip untuk melakukan bisnis secara global dalam bidang hak asasi
manusia, tenaga kerja, dan lingkungan. Kesembilan prinsip itu dicantumkan dalam
Gambar 2. dunia bisnis global diminta untuk me-masukkan pedoman itu ke dalam
kegiatan bisnis mereka. Perusahaan yang ber-komitmen seperti itu melakukan itu
karena mereka yakin bahwa masyarakat bisnis dunia memainkan peran penting dalam
memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial.
Hak
Asasi Manusia
Prinsip
1 : Mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia di dalam
jangkauan pengaruh mereka.
Prinsip
2 : Memastikan perusahaan bisnis tidak terlibat dalam pelanggaran hak
asasi manusia
Standar
Buruh
Prinsip
3 : Kebebasan asosiasi dan pengakuan yang efektif atas hak
tawar-menawar secara kolektif
Prinsip
4 : Pengahpusan semua bentuk buruh yang dipaksa atau diwajibkan
Prinsip
5 : Abolisi yang efektif tentang buruh anak-anak
Prinsip
6 : Panghapusan diskriminasi berdasarkan peluang kerja dan pekerjaan
Lingkungan
Prinsip
7 : Mendukung pendekatan awal terhadap tantangan lingkungan
Prinsip
8 : Mengambil inisiatif untuk memajukan tanggung jawab lingkungan yang
lebih besar
Prinsip
9 : mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi yang ramah
lingkungan
|
|
Gambar 1.
Kesepakatan Gobal.
1.10 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Etika
Apakah seseorang bertindak
secara etis atau tidak etis ketika berhadapan dengan dilema etika yang
merupakan hasil interaksi yang rumit antara tingkat perkembangan moral dan
beberapa variabel yang mencakup karakteristik individu, desain struktural
organisasi itu, budaya organisasi itu, dan intensitas masalah etis tersebut.
Orang yang tidak mempunyai rasa moral yang kuat akan sangat kurang cenderung
melakukan hal-hal yang keliru jika mereka menghadapi kendala peraturan,
kebijakan, deskripsi jabatan, atau norma budaya kuat yang tidak menyetujui
perilaku semacam itu. Sebaliknya, orang-orang yang sangat bermoral dapat
menjadi jahat karena struktur dan budaya organisasi yang mengizinkan atau
mendorong praktik-praktik yang tidak etis. Di bawah ini ada beberapa faktor
yang mempengaruhi apakah individu berperilaku etis atau tidak etis.
A. Tahap-tahap
perkembangan moral
Tingkatan Deskripsi
Tahap
Prinsip 6.
Mengikuti prinsip-prinsipetis yang dipilih sendiri walaupun prinsip-prinsip
itu melanggar hukum.
5.
Menghargai hak-hak orang lain dan mempertahankan nilai-nilai dan hak-hak
mutlak tanpa mempedulikan pendapat mayoritas.
Konvensional 4.
Mempertahankan tatanan konvensional dengan memenuhi berbagai kewajiban yang
telah Anda sepakati.
3.
Menghayati apa yang diharapkan oleh orang-orang yang dekat dengan Anda
Pra-Konvensional 2.
Menaati peraturan hanya ketika berbuat seperti itu merupakan ke-pentingan
Anda langsung
1.
Menaati peraturan untuk meghindari hukuman fisik.
|
|
Tingkatan pertama disebut pra-konvensional. Pada tingkatan itu, pilihan
orang atas benar atau salah didasarkan pada akibat-akibat pribadi yang terkait,
seperti hukuman badan, imbalan, atau pertukaran keuntungan. Penalaran etis pada
tingkatan konvensional menunjukkan bahwa nilai-nilai moral terletak dalam
mempertahankan tatanan konvensional dan memenuhi harapan orang lain. Pada
tingkatan prinsip, individu melakukan upaya yang jelas untuk mendefinisikan
prinsip-prinsip moral terlepas dari wewenang kelompok yang menaungi mereka atau
masyarakat pada umumnya.
Dapat ditarik kesimpulan dari
riset mengenai tingkatan dari tahap perkembangan moral. Pertama, orang
melangkah melalui keenam tahap itu secara berurutan. Mereka perlahan-lahan
menaiki tangga moral, tahap demi tahap. Kedua, tidak ada jaminan
keberlangsungan perkembangan moral. Perkembangan moral seseorang dapat berhenti
pada tahap mana pun. Ketiga, mayoritas orang dewasa berada pada tahap 4. Mereka
terbatas pada memenuhi peraturan dan akan terdorong berperilaku secara etis.
misalnya, seorang manajer pada tahap 3 cenderung membuat keputusan yang akan
mendapatkan persetujuan rekan sejawat; seorang manajer pada Tahap 4 akan
berusaha menjadi”warga perusahaan yang baik” dengan membuat keputusan yang
menghormati prosedur dan peraturan organisasi itu; dan seorang manajer pada
tahap 5 lebih cenderung menantang praktik-praktik organisasi yang dianggapnya
keliru.
B. Karakteristik individu
Setiap orang memasuki suatu
organisasi dengan serangkaian nilai yang relatif telah tertanam. Nilai
kita―yang dikembangkan pada tahun-tahun awal kelahiran kita dari orang tua,
para guru, teman, dan orang lain―menggambarkan keyakinan dasar tentang apa yang
benar dan salah. Dengan demikian, para manajer di organisasi yang sama sering
memiliki nilai pribadi yang sangat berbeda. Ingatlah bahwa meskipun nilai dan
tahap perkembangan moral itu tampaknya serupa, sebetulnya tidak sama. Nilai
bersifat luas dan mencakup serangkaian luas permasalahan; tahap perkembangan
moral secara khusus merupakan ukuran kemandirian terhadap berbagai pengaruh
dari luar.
Dua variabel keperibadian, juga
telah ditemukan untuk mempengaruhi tindakan individu menurut keyakinannya
tentang apa yang benar atau salah, yaitu :
1. Kekuatan Ego (ego
strength)
Yaitu ukuran kepribadian
tentang kekuatan keyakinan seseorang. Orang yang tinggi skor kekuatan egonya
cenderung melawan dorongan seketika (implus) untuk bertindak tidak etis dan
sebaliknya cenderung mengikuti keyakinan mereka. artinya, individu-individu
yang kekuatan egonya tinggi lebih cenderung melakukan apa yang mereka anggap
benar. Kita mengharapkan para karyawan dengan kekuatan ego yang tinggi akan
menunjukkan lebih konsisten pertimbang-an moral dan tindakan moralnya daripada
karyawan yang rendah kekuatan egonya.
2. Tempat Kendali (locus
of control)
Yaitu sifat kepribadian yang
mengukur derajat sampai seberapa orang yakin bahwa mereka mampu mengendalikan
nasib merekasendiri. Orang yang memiliki tempat kendali internal yakin bahwa
mereka mampu mengendalikan nasib mereka sendiri; sementara orang yang memiliki
tempat kendali eksternal yakin bahwa apa yang menimpa mereka dalam hidup ini
disebabkan oleh keberuntungan atau kebetulan.
Bagaimana keyakinan itu bisa
mempengaruhi keputusan seseorang untuk bertindak etis atau tidak etis?
orang-orang eksternal cenderung kurang memikul tanggung jawab pribadi atas
berbagai akibat perilaku mereka dan lebih cenderung mengandalkan kekuatan
eksternal. Orang-orang internal itu, sebaliknya, lebih cenderung memikul
tanggung jawab atas berbagai akibat dan mengandalkan standar batin mereka
sendiri mengenai yang benar dan yang salah untuk membimbing perilaku mereka.
juga, para karyawan dengan tempat kendali internal cenderung lebih konsisten
dalam pertimbangan dan tindakan moral daripada tempat kendali eksternal.
C. Variabel-variabel
struktural
Desain struktural organisasi
menolong membentuk perilaku etis para pekerjanya. Beberapa struktur memberikan
bimbingan yang kuat, sementara struktur lainnya hanya menciptakan
ketidakjelasan dan terus-menerus mengingatkan para karyawan tentang apa yang
etis lebih cenderung mendorong perilaku etis.
Mekanisme organisasi lainnya
yang mempengaruhi etika meliputi sistem penilaian kinerja dan prosedur
pemberian imbalan. Beberapa sistem penilaian kinerja organisasi berfokus khusus
pada hasil. Lainnya mengevaluasi maksud sama seperti hasil. Ketika karyawan
dievaluasi hanya pada hasilnya, mereka mungkin tertekan untuk melakukan apapun
yang diperlukan untuk terlihat baik pada variabel hasil itu. Riset baru-baru
ini menyarankan bahwa “kesuksesan dapat berlaku sebagai pemakluman atas
perilaku yang tidak etis”. Bahayanya adalah jika manajer mengambil pandangan
yang lebih lunak dari perilaku tak etis untuk karyawan yang sukses, karyawan
lain akan meniru perilaku mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat. Sangat
terkait dengan sistem penilaian adalah cara pemberian suatu pengahargaan.
Makin banyak penghargaan atau
hukuman tergantung pada hasil tujuan tertentu, makin banyak tekanan pada
karyawan untuk melakukan apa yang mereka harus capai untuk tujuan itu dan
mungkin mengkompromikan standar etika mereka. walau faktor struktural itu
berpengaruh penting pada karyawan, mereka bukanlah yang terpenting. Yang paling
terpenting adalah dalam mempegaruhi keputusan seseorang untuk bertindak etis
atau tidak etis. orang berusaha mencari apakah yang dilakukan oleh atasan dan
menggunakan hal itu sebagai pedoman untuk praktik dan harapan yang dapat
diterima.
D. Budaya organisasi
Kandungan dan kekuatan budaya
organisasi tertentu juga mempengaruhi perilaku etis. suatu budaya organisasi
yang paling cenderung mendorong standar etika yang tinggi adalah budaya yang
tinggi dalam mentolerir risiko, tinggi pengendaliannya, dan tinggi konfliknya.
Karyawan dalam budaya itu didorong untuk bersifat agresif dan inovatif, sadar
bahwa praktik-praktik yang tidak etis akan terungkap, dan merasa bebas untuk
menantang secara terbuka tuntutan atau harapan yang mereka anggap tidak
realistis atau tidak dikehendaki secara pribadi.
Suatu budaya kuat akan lebih
banyak mempengaruhi karyawan daripada budaya yang lemah. Apabila budaya itu
kuat dan menopang standar etika yang tinggi, budaya itu tentunya akan mempunyai
pengaruh yang sangat kuat dan positif terhadap keputusan bertindak etis atau
tidak etis. The Boeing Company, misalnya, mempunyai budaya kuat
yang telah lama menekankan hubungan perusahaan yang etis dengan para pelanggan,
karyawan, masyarakat, dan pemegang saham. Untuk memperkuat pentingnya etika,
perusahaan itu menyusun serangkaian poster serius dan membangkitkan ide yang
dirancang untuk menarik perhatian para karyawan bahwa keputusan dan tindakan
pribadi mereka itu penting dalam pandangan organisasi.
E. Intensitas masalah
Seorang mahasiswa yang tidak
pernah berpikir untuk menyelinap masuk ruang dosen untuk mencuri ujian akutansi
tidaklah berpikir dua kali untuk bertanya kepada seorang teman yang telah
menempuh mata kuliah akutansi yang sama dari dosen yang sama tahun yang lalu,
pertanyaan-pertanyaan apa yang ada dalam ujian itu. Demikian juga, seorang
eksekutif yang mungkin tidak berpikir sedikit pun untuk membawa pulang beberapa
barang perlengkapan kantor akan mampu resah untuk memikirkan kemungkinan
peggelapan dana perusahaan.
Contoh-contoh itu menggambarkan
faktor akhir yang mempengaruhi perilaku etis intensitas masalah etis itu sendiri.
Sebagaimana diperlihatkan oleh gambar 5, enam karakteristik telah
diidentifikasi sebagai hal yang relevan dalam menentukan intensitas masalah:
besarnya kerugian, konsensus tentang kesalahan, kemungkinan kerugian, kecepatan
akibatnya, jarak terhadap korban, dan konsentrasi akibat. Keenam faktor itu
menentukan seberapa pentingnya masalah etika bagi seseorang. Dengan mengikuti
pedoman itu, semakin besar jumlah orang yang dirugikan, semakin besar
kesepakatan bahwa suatu perbuatan itu jahat, semakin tinggi kemungkinan bahwa
tindakan itu akan menimbulkan kerugian, semakin pendek jarak waktu akibat
tindakan itu akan dirasakan, semakin dekat orang merasa menjadi korban tindakan
itu, semakin besar intensitas masalah tersebut. Ketika masalah etika penting―yaitu,
semakin kuat masalah itu―semakin besar kita akan berharap para manajer berlaku
secara etis.
1.11 Menuju
Perbaikan Perilaku Etika
Para manajer dapat melakukan
sejumlah hal jika mereka serius mau mengurangi praktik-praktik tidak etis di
organisasi mereka. para manajer dapat berusaha mempekerjakan orang-orang yang
memiliki standar etika yang tinggi, menentukan kode etik dan peraturan
keputusan, memimpin dengan memberikan keteladanan, menyediakan pelatihan etika,
melaksanakan audit sosial, dan mem-berikan dukungan kepada orang-orang yang
menghadapi dilema etis.
Kalau diambil sendiri-sendiri,
barangkali tindakan itu tidak akan banyak dampaknya. Tetapi apabila semua atau
sebagian besar diantaranya dijalankan sebagai bagian program etika yang
menyeluruh, tindakan-tindakan itu potensial secara nyata memperbaiki iklim etis
organisasi. Istilah kuncinya di sini adalah potensi. Tidak ada jaminan bahwa
program etika yang dirancang dengan baik akan menghasilkan hasil seperti yang
dikehendaki.
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah dan Rindyah Hanafi. 2002. Pengantar
Manajemen. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 1999. Manajemen.
Jilid 1. Jakarta : PT. Prehellindo.
Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 2007. Manajemen.
Jilid 1. Edisi kedelapan. Jakarta : PT. Indeks.
Robbins, Stephen P. dan David A. Decenzo. 2003. Fundamentals
of Management. New Jersey : Upper Saddle River.
Reksohadiprodjo, Sukanto. 1986. Dasar-dasar
Manajemen. Yogyakarta : BPFE.
Stoner, James A.F. et al. 1996. Manajemen.
Jilid I. Jakarta : PT Prenhallindo.
Tunggal, Amin Widjaja. 1993. Manajemen Suatu
Pengantar. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Wursanto, IG. 1986. Dasar-dasar Manajemen Umum.
Jakarta : Pustaka Dian
Referensi
www.google.com
www.nusando.blogspot.com
referensi
: