ETIKA DALAM FUNGSI PERUSAHAAN
Disusun oleh:
Nama : Elia Dwi Astuti
NPM : 12216298
Kelas
: 3ea31
Jurusan : Manajemen
Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
PTA 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Etika bisnis sangat dibutuhkan oleh semua
pengusaha baru maupun pengusaha yang sudah lama terjun di dunia bisnis. Tujuan
etika bisnis bagi pengusaha adalah untuk mendorong kesadaran moral dan
memberikan batasan-batasan bagi para pengusaha atau pelaku bisnis untuk
menjalankan good business dan tidak melakukan monkey business
atau dirty business. Di mana, hal itu dapat merugikan banyak pihak yang
terkait.
Dengan
etika bisnis, para pelaku bisnis memiliki aturan yang dapat mengarahkan mereka
dalam mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang baik, sehingga dapat diikuti
oleh semua orang yang memercayai bahwa bisnis tersebut memiliki etika yang
baik. Memiliki etika bisnis juga dapat menghindari citra buruk seperti
penipuan, serta cara kotor dan licik. Bisnis yang memiliki etika baik biasanya
tidak akan pernah merugikan bisnis lain, tidak melanggar aturan hukum yang
berlaku, tidak membuat suasana yang tidak kondusif pada saingan bisnisnya, dan
memiliki izin usaha yang sah.
BAB II
TEORI
2.1 Pengertian Etika
Etika berasal dari kata Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul
dari kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab.
2.2 Pengertian Bisnis
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual
barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba.
Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy
yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat.
Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan
keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh
pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan
kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan
imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak
semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini
kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh
pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
2.3 Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga
masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma
dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan
sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang
beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang
dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan
peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh
karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.
2.4 Definisi Etika Bisnis Menurut
Beberapa Ahli :
– Velasquez (2005) mengatakan bahwa Etika bisnis merupakan studi
yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi
pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan
perilaku bisnis.
–
Bertens (2000) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut
business ethics. Dalam bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika
perusahaan) dan dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup
dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics
(etika korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau”etika ekonomi”
(jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman
Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics
(etika manajemen) atau organization ethics (etika organisasi).
–
Yosephus (2010) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied
Ethics (etika terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan
prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi,
khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku
moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
–
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Journal
(1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika
bisnis, yaitu :
–
Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya.
Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang
dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang
tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
–
Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya
memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku
tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan
dengan hak orang lain.
–
Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan
bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara
perseorangan ataupun secara kelompok.
2.5 Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas
dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika
dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku
dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima
dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan
prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis
yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
2.6 Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen
dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen
tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan
moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan
aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas
untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau
kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang
disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
BAB III
ANALISIS
3.1Contoh Kasus
Pelanggaran Etika Bisnis : PT. Metro Batavia (Batavia Air)
Humas Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai
pailit, PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik
dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya,
seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air
mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa
pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk
angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk
mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC
bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia
Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan.
Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC
mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan
untuk menutup utang.
Dari bukti-bukti yang diajukan
ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga
sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa
pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti
utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua
unsur tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force
majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya
syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat
membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari.
“Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap.”
Batavia Air pasrah dengan kondisi
ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah
modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka
direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan
informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi
ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia,
Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta
besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk
memberi penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta
mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya,
Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan
ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini ke
bandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),”
imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa
pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu
dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir
tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggung jawab.
3.2
Analisis
:
Siapa yang melakukan:
Pihak PT METRO BATAVIA (Batavia
Air)
Jenis Pelanggaran :
Gugatan yang diajukan ILFC
bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia
Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan.
Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC
mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan
untuk menutup utang.
Bagaimana :
Batavia Air mengatakan tidak bisa
membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari
International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun,
Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang
dilakukan pemerintah.
Dampak/ Akibat :
Batavia Air sudah menghitung
secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan,
dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di
dunia penerbangan, dan calon penumpang (Pembeli tiket) Batavia Air menjadi
terlantar pada hari hari berikutnya.
Tindakan Pemerintah :
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi
pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini
menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh
Indonesia.
3.3
Undang
undang yang dilanggar :
Pasal
2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan
1.
Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
Ayat 3 : “hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
2.
Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat 2 : “memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
3.
Pasal 8
Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memper
dagangkan barang dan/atau jasa
tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
4.
Pasal 19
Ayat 1 : “Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi”
3.4 Kesimpulan :
Pendapat saya pribadi ketika
melihat pelanggaran berikut ini adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak
manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan
sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek
Haji tersebut sudah Pihak Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan
perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak
mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi
pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk
memenangkan Tender tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar